DESKRIPSI SINGKAT KESENIAN BANYUMASAN
1.
KARAWITAN GAGRAG BANYUMAS
Karawitan
gagrag Banyumas salah satu gaya dalam karawitan Jawa yang tumbuh dan berkembang
di wilayah sebaran budaya Banyumas. Karawitan gagrag Banyumas memiliki 3 (tiga)
warna yaitu warna wetanan dipengaruhi oleh karawitan kraton (gaya surakarta dan
Yogyakarta) warna kulonan dipengaruhi karawitan gaya Sunda, dan warna
Banyumasan adalah warna khas yang dilatar belakangi oleh budaya masyarakat
setempat yang bernafas kerakyatan. Ketiga warna tersebut dapat dijumpai pada
bentuk gendhing, garap gendhing dan garap instrumen dalam setiap penyajiannya.
- MACAPAT
Macapat merupakan seni tutur tradisional yang
berupa tembang-tembang jawa yang dinyanyikan tanpa menggunakan alat musik, dan
lagu-lagunya sudah terbentuk paten utamanya
guru lagu dan guru wilangannya, namun tutur atau kalimat-kalimat dalam lagu tersebut
yang dalam macapat di sebut “cakepan” bersifat luwes atau bisa berubah dan bisa mengambil dari serat yang tua seperti serat
centhini atau babad - babad yang ada di sekitar masyarakat, bisa juga mengenai nasehat, menggambarkan kehidupan ataupun
semangat perjuangan.
3.
RENGKONG
Rengkong adalah alat musik tradisional yang
terbuat dari bambu sebagai salah satu rangkaian
panen padi yaitu bentuk ritual
membawa padi bersama-sama dari sawah menuju rumah atau Lumbung desa.
Rengkong berasal dari kata reng yang artinya rengeng-rengeng,
kong artinya besar dan berkuasa. Rengkong artinya rengeng rengeng kepada yang
besar dan berkuasa yaitu puji pujian
kepada Yang Maha Kuasa. Sebagai salah satu sarana para petani untuk
menyampaikan rasa syukur lewat puji-pujian kepada ”Dewi Sri” yang dianggap
dewanya para petani.
Sumber
bunyi yang dihasilkan adalah dari gesekan tali
ijuk dan pikulan yang diberi beban padi menghasilkan bunyi reng dan kong
tergantung dari besar kecilnya alat pikulnya.
Masyarakat petani Desa Kutaliman setiap membawa pulang hasil panennya
menggunakan alat rengkong itulah sebagai sarana alat pengangkut padi. Disamping itu memang Dewi Sri suka pada bunyi
bunyian dan nyanyian sehingga panen berikutnya diberi hasil yang lebih melimpah
terhindar dari hama.
4.
COWONGAN
Cowongan
adalah bentuk ritual jaman dahulu untuk mengundang hujan, yang dilakukan
masyarakat Banyumas terutama para petani yang mengalami kemarau panjang.
Namun
sekarang cowongan diangkat sebagai seni pertunjukan dan sebagai pralambang
hidup manusia, dimana begitu sulit membedakan antara manusia dengan iblis atau
belis (setan ). Pada jaman dahulu cowongan dilaksanakan hanya pada saat
terjadi kemarau panjang. Biasanya ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir masa
kapat (hitungan masa pada kalender Jawa). Dalam pelaksanaannya cowongan
dilakukan pada hitungan ganjil misalnya 1 kali, 3 kali, 5 kali atau 7 kali,
Apabila sekali dilaksanakan cowongan belum turun hujan maka dilaksanakan 3 kali
demikian seterusnya hingga turun hujan.
5.
PAKEONGAN
Pak keong
merupakan salah satu kesenian Banyumas untuk ritual minta hujan, kesenian ini
menggunakan properti alat dapur, konon asal-usulnya yang menciptakan kaum hawa
atau kaum ibu, khususnya ibu-ibu petani, karena suaminya dalam bercocok tanam
sangat memprihatinkan, dikarenakan sudah berbulan-bulan tidak turun hujan.
Adapun properti yang digunakan diantaranya yaitu
bakul/cething atau tempat nasi, beruk
alat penakar beras yang terbuat dari tempurung kelapa, benggol (uang logam) dan
wingka (pecahan piring keramik sejumlah 39 buah.
Pelaku pak keong 4
orang terdiri dari 1 orang dalang dan 3 orang yang memegang bakul, Dalang pak
keong biasanya seorang wanita yang umurnya sudah tua sekitar 60 tahun ke atas,
sedang yang memegang bakul 3 orang wanita atau 3 orang laki-laki yang tenaganya
kuat untuk memegang bakul itu.
Beruk
atau tempurung yang dimasuki uang logam sebagai tanda mahar agar prmohonannya
cepat dikabulkan, mahar itu berjumlah 39 buah atau 40 kurang satu, namun karena
jaman dahulu mencari uang susah maka uang logam itu dicampur dengan wingka
untuk memenuhi jumlah tersebut.
Ritual
ini diiringi dengan mantra-mantra berupa nyanyian-nyanyian mengandung
permintaan yang bertujuan minta hujan, sesaji yang dipasang kebanyakan hasil
tanaman para
petani yang terdiri dari 3 kelompok jenis tanaman, tanaman pala kependem, pala kesimpar dan pala gumantung.
Kesenian ini dimainkan atau
dipentaskan pada waktu musim kemarau panjang, Kesenian pak Keong
sampai saat sekarang masih dilaksanakan di daerah sebelah utara sungai serayu,
namun yang dominan dan hingga saat ini masih dijumpai di kecamatan Kembaran dan
Sumbang.
- KETHOPRAK
Kesenian
kethoprak
adalah merupakan seni dari kebudayaan jawa yang mengisahkan cerita cerita atau
lakon legenda jaman dahulu diiringi
musik gamelan dan kenthong sebagai pengarah bunyi gamelan, adapun tehnik
pementasanya bisa langsung maupun tidak langsung. Pementasan
ketoprak langsung biasanya dipentaskan di panggung
dengan bermacam macam cerita atau lakon, diperankan oleh laki-laki dan perempuan dengan berbagai macam dandanan, kostum dan dilatar belakangi kelir
atau geber sesuai dengan alur cerita.
Sedangkan pementasan yang tidak langsung yaitu lewat media radio yang
hanya bisa didengar dan tidak merupakan tontonan.
Kegiatan
seni kethoprak ini
merupakan media informasi dan komunikasi antara pemerintah, seniman dan masyarakat. Lewat seni kethoprak ini
meningkatkan mutu seni budaya serta memupuk rasa persatuan dan kesatuan, agar
mampu mengembangkan dan meningkatkan kwalitas seni, apresiasi seni serta jiwa
nasionalisme. Seni ketoprak merupakan
kegiatan yang selalu meningkatkan keakraban dan persaudaraan khususnya antara
seniman dan pelaku seni.
7.
MUNTIET
Mutiet
adalah salah satu kesenian langka yang keberadaannya
masih bisa
dijumpai di desa Karang Duren
Kecamatan Sokaraja. Bentuk pementasanya
dipimpin oleh seorang dalang, beberapa pemain dan penabuh (pemusik) dengan
mulut seperti iringan jemblung. Cerita
yang diangkat sangat bervariasi, bisa cerita legenda, asal usul daerah dan lain
lain. Pementasanya sangat unik karena
pelaku sanbil makan hidangan yang ada tanpa berhenti. Sehingga wajar bila yang nonton merasa heran atau gumun
karena yang main perutnya menthelet (kenyang).
8.
BARITAN
Baritan adalah upacara
kesuburan dengan menggunakan kesenian sebagai media utamanya. Hingga saat ini
ada dua macam baritan yaitu baritan yang digunakan untuk tujuan memanggil hujan
dan baritan untuk keselamatan tarnak. Untuk memanggil hujan biasanya digunakan
berbagai macam kesenian yang ada seperti lengger, buncis dan ebeg. Adapun baritan untuk keselamatan
ternak biasanya menggunakan lengger sebagai media upacara. Baritan biasanya
dilaksanakan pada mangsa Kapat (sekitar bulan September).
9.
WAYANGKULIT PURWA
Wayang
adalah salah satu seni budaya bangsa Indonesia khususnya jawa. Wayang berasal dari kata Ma Hyang yang
artinya menuju roh spiritual, Dewa Tuhan Yang Maha Esa. Ada juga yang mengartikan wewayangan atau
bayangan, hal ini disebabkan karena penonton juga bisa menikmati wayang dari
belakang kelir atau melihat bayangannya saja.
Budaya wayang meliputi seni
peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat
dan juga seni pralambang.
Wayang
kulit dimainkan oleh seorang dalang yang juga sebagai narator dialog tokoh-
tokoh wayang dengan diringi musik
gamelan yang dimaikan oleh sekelompok nayaga dan tembang yang dinyanyikan oleh
para pesinden.
Secara umum wayang mengambil kisah Mahabarata dan
Ramayana. Tetapi tidak dibatasi oleh
pakem (stándar cerita) tersebut, dan dalang bisa berkreasi untuk melakukan
pementasannya. Agar lebih menarik untuk menikmatinya.
10.
WAYANG KULIT
GAGRAG BANYUMASAN
Wayang kulit gagrag Banyumasan
adalah jenis pertunjukan wayang kulit yang bernafas Banyumas. Lakon-lakon yang
disajikan dalam pementasan tidak berbeda dengan wayang kulit purwa, yaitu
bersumber dari kitab Mahabarata dan Ramayana. Spesifikasi wayang kulit gagrag Banyumas
adalah terletak pada tehnik pembawaannya yang sangat dipengaruhi oleh latar
belakang budaya masyarakat setempat yang memiliki pola kehidupan tradisional
agraris. Spesifikasi tersebut dapat dilihat pada berbagai sisi seperti sulukan,
tokoh-tokoh tertentu yang merupakan lokal genius lokal Banyumasan, sanggit
cerita, iringan dan lain-lain.
11.
BEGALAN
Begalan
adalah seni tutur tradisional yang digunakan sebagai sarana upacara pernikahan.
Begalan menggambarkan peristiwa perampokan terhadap
barang bawaan dari besan (pihak mempelai pria) oleh seorang begal (rampok). Dalam falsafah orang Banyumas
yang dibegal bukanlah harta benda melainkan bajang sawane nini penganten dan
kaki penganten ( segala kendala yang mungkin terjadi dalam kehidupan berumah
tangga pada mempelai berdua ).
Begalan
dilakukan oleh dua orang pria dewasa yang merupakan sedulur pancer
lanang (saudara garis laki-laki) dari pihak mempelai pria. Kedua pemain menari didepan kedua mempelai diiringi
gending-gending banyumasan dengan membawa properti yang disebut Brenong
Kepang, properti terdiri atas alat-alat
dapur yang diberi makna simbolis, yang berisi falsafah jawa dan berguna bagi
kedua mempelai yang akan menjalani hidup baru, mengarungi kehidupan berumah
tangga.
Tanggapan
begalan ini untuk perkawinan anak sulung dengan anak sulung, anak sulung dengan
anak ragil adan anak ragil dengan anak ragil.
Makna simbulis pada pementasan itu antara lain : pikulan melambangkan keseimbangan, ilir
melambangkan memberikan suasana dingin apabila terjadi salah satu ada yang lagi
marah atau kurang berkenan, dan lain-lain.
Hingga kini begalan masih tumbuh subur diseluruh wilayah Kabupaten
Banyumas.
12.
WAYANG
GOLEK
Wayang Golek adalah wayang yang terbuat dari
kayu dan dibentuk menyerupai golek (boneka).
Wayang Golek ada dua jenis yaitu wayang golek menak dan wayang golek
purwa. Wayang Golek Menak atau yang
sering disebut wayang thengul menampilkan
cerita cerita yang diambil dari kitab menak, yang berisi tentang perjuangan
penyebaran agama Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, serta kerajaan kerajaan
di negeri Arab dan sekitarnya, dengan tokoh tokoh antara lain : Wong
Agung Menak/Jayengrana, Amir Hamzah, Umar Maya, Retna Muninggar, Prabu
Nursiwan dari kerajaan Mudayin dan lain-lain.
Walaupun tokoh ceriteranya orang Arab dan berlatar belakang budaya Arab, wayang
golek menak diberi pakaian seperti
kuluk, sumping, jamang dan sebagainya yang
natabene biasa di pakai dalam pertunjukan seni Jawa seperti wayang wong. Wayang golek
menak dibuat pertama kali oleh Ki Trunadipura, seorang dalang dari Baturetna
Wonogiri Surakarta pada jaman pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944). Wayang
Golek Purwa pada dasarnya sama dengan wayang golek menak, yang membedakan
adalah cerita yang ditampilkan adalah cerita Ramayana dan Mahabarata sama
seperti wayang kulit purwa. Wayang Golek
Purwa pertama kali dibuat oleh Yakindrata (Yayasan Kerajinan Rakyat Yogyakarta)
pada tahun 1965.
13.
BUNCIS
GOLEK GENDHONG
Kesenian Buncis/Buncisan berasal dari
kata buntar dan cis, buntar berarti gagang atau garan, dan cis berarti keris
kecil atau cundrik. Konon kisahnya dahulu disebelah barat kota Purwokerto ada
sebuah kadipaten yang bernama kadipaten Gentayakan, yang dipimpin oleh sang
adipati bernama adipati Nata Kusuma, sang adipati mempunyai seorang putra
bernama Raden
Prayitno, dan juga Kadipaten Nusa Kambangan atau Nusatembini juga dipimpin
oleh adipati bernama Prabu Parung Bahas dan mempunyai Patih Branjang Gelap. Raden Prayitno dan Prabu Parung Bahas sama
sama menghendaki putri dari kadipaten Kalisalak yang bernama Dewi Nur Kanthi, untuk menentukan siapa yang akan diterima sebagai menantu,
adipati Kalisalak membuat sayembara dengan meminta dua persyaratan agar
diterima sebagai menantu berupa payung
tunggul naga dan bekong wahyu, sedangkan yang mempunyai bekong wahyu Ki Ageng
Giring, tetapi bekong itu telah dicuri oleh patih Branjang Gelap dari
Nusakambangan. Karena Raden Prayitno
mengetahui yang mencuri patih Branjang Gelap maka terjadi peperangan, namun
Raden Prayitno mengalami kekalahan.
Kemudian Raden Prayitno meminta bantuan Empu Lemah Tengger, yang
akhirnya diberi pusaka keris kecil (cis) untuk mengalahkan patih Branjang
Gelap, karena tergesa-gesa keris itu jatuh sehingga buntara atau gagang keris
itu pecah dan berubah menjadi manusia berbadan tinggi dan berbulu panjang,
sedangkan cis berubah menjadi ular naga.
Setelah keduanya berubah wujud makluk itu berbicara kepada Raden
Prayitno, Jika raden sudah bisa
mengalahkan Patih Branjang gelap saya akan menggendong raden dengan
menari-nari, dan akan berubah ujud setelah melihat bekong wahyu, setelah Raden Prayitno mempersunting Dewi Nur
Kanthi dan menyerahkan bekong wahyu kemudian kedua makluk itu kembali ke wujud
semula yaitu menjadi keris kecil. Tarian Buncis kemudian menjadi adat untuk menjemput tamu
dari luar atau kerajaan, tarian buncis diiringi gamelan, adapula yang
menggunakan angklung dan nyanyian lagu-lagu daerah Banyumasan.
14.
MUYEN
Muyen berasal dari kata Muyi yang artinya
bayi, seni muyen berarti menengok bayi yaitu tradisi dimasyarakat Banyumas
sejak dulu hingga sekarang, pada umumnyabila ada seorang ibu yang melahirkan
maka masyarakat sekitar berbondong-bondong menengok dengan mambawa buah tangan
seperti palawija, rempah-rempah, sayur-sayuran dan sebagainya.
Ada suatu kepercayaan yang sangat unik dalam tradisi ini
yaitu kecantikan ibu yang melahirkan sangat disukai oleh makluk halus seperti
jin maupun setan, sang bayipun tidak lepas dari gangguan mereka sehingga muncul
tangis sang bayi. Untuk menangkal hal
tersebut masyarakat sering mendatangkan kamitua atau dukun untuk mengusir
makluk tersebut dengan tradisi botakan didahi/kening.
Tradisi
Muyen sampai sekarang masih exsis dimasyarakat, yang membedakan dalam hal ini
adalah buah tangan yang dibawa lebih bersifat modern karena pengaruh
perkembangan zaman yang modern.
15.
CALUNG
Calung adalah musik tradisional dengan perangkat mirip
gamelan terbuat dari bambu wulung. Musik calung hidup di komunitas masyarakat
pedesaan di wilayah sebaran budaya Banyumas. Menurut manyarakat Banyumas calung berasal dari kata carang pring wulung
(pucuk bambu wulung) atau di cacah melung-melung (dipikul berbunyi nyaring).
Spesifik musik calung adalah bentuk musik minimalis, yaitu dengan perangkat
sederhana, namun mampu menghasilkan
aransemen musikal yang lengkap. Perangkat musik calung terdiri atas
gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong, gong dan kendhang. Perangkat
musik ini berlaras slendro dengan nada-nada 1(ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (ma) dan 6
(nem).
16.
LENGGER
Lengger adalah seni
pertunjukan tradisional khas Banyumas yang dilakukan oleh penari wanita. Dalam
pertunjukannya penari lengger menari sambil menyanyi (nyinden) dengan iringan
calung. Kata lengger merupakan jarwo dhosok (penggabungan dua kata menjadi kata
bentukan baru) yang berarti diarani leng jebule jengger atau dikira lubang
ternyata mahkota ayam jantan. Maksud jarwo dhosok tersebut adalah berkaitan
dengan kebiasaan pada masa lalu pemain lengger berjenis kelamin laki-laki.
Dalam perkembangannya, kesenian lengger lebih sebagai media hiburan sehingga
penari yang semula laki-laki diganti dengan penari perempuan. Pada masyarakat
tradisional di daerah Banyumas, lengger memiliki fungsi ritual sebagai
pelaksana upacara kesuburan. Saat sekarang lengger banyak dipentaskan untuk
keperluan hiburan masyarakat pedesaan maupun perkotaan dan telah dimodifikasi
menjadi tari-tarian yang digarap dengan konsep masa kini.
- KENTHONGAN
Perubahan
sosial di daerah Banyumas telah memberikan imbas terhadap hampir semua aspek
kehidupan masyarakatnya, tak terkecuali di bidang kasenian, pada akhir dekade 1990 an hingga
awal dekade 2000 an, di Banyumas terjadi booming perkembangan musik
kenthongan. Pada mulanya kenthongan
dalam kehidupan masyarakat tradisional sudah menjadi salah satu bentuk musik alternatif
yang sangat digemari oleh hampir semua kalangan, baik tua maupun muda. Musik kenthongan yang sering juga disebut
dengan musik thek-thek dan atau themling tumbuh hampir disetiap desa, dalam
bentuk-bentuk perkumpulan dengan anggota antara 40 – 65 orang tiap-tiap
group.
Para
pemain musik kenthongan atau thek-thek secara umum dapat dibagi dalam berbagai
peran antara lain :
a, Penabuh
yaitu pemain yang bertugas menabuh atau membunyikan alat musik.
b. Mayoret yaitu pemain yang bertugas mengatur barisan
seperti layaknya
mayoret pada
drum band.
c. Penari yaitu pemain yang bertugas membawakan ragam
tarian tertentu
yang diiringi
oleh lagu-lagu tertentu yang disajikan.
d. Badut yaitu pemain yang memakai kostum-kostum lucu sebagai salah satu
daya tarik
sajian.
- SINTREN
Kesenian
Sintren atau laisan berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Baurekso
hasil perkawinan dengan Dewi Ratnasari. Raden Sulandono memadu kasih dengan
sulasih seorang putri dari desa pada jaman dulu, namun hubungan Asmara tersebut tidak mendapat restu
dari Ki Baurekso, Akhirnya Sulandono pergi bertapa dan sulasih
memilih menjadi penari, meskipun demikian pertemuan
diantara keduanya masih terus berlangsung melalui alam gaib.
Sintren
diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang (mlandang) diiringi lagu-lagu pujian dan iringan karawitan seadanya. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai hiburan
budaya, kemudian dilengkapi oleh penari pendamping dan bodor (lawak). Dalam
permainan kesenian rakyatpun Dewi Lanjar berpengaruh antara lain dalam
permainan sintren, bila roh Dewi Lanjar berhasil diundang, maka penari sintren
akan terlihat lebih cantik dan membawakan terian lebih lincah serta mempesona.
- BUNCIS
Buncis di
Banyumas bukan sekedar nama sayuran untuk lauk pauk, buncis juga menjadi nama
salah satu kesenian lokal setempat, kesenian ini tersaji dalam bentuk seni
pertunjukan rakyat, Pemain terdiri dari 8 orang yang menari sambil bernyanyi,
sekaligus menjadi musisinya. Dalam sajian keseluruhan pemain menggunakan kostum berupa
kain yang dibuat menyerupai rumbe-rumbe
menutup aurat. Sedangkan dikepalanya menggunakan mahkota yang terbuat dari rangkaian
bulu ayam. Dari kostum yang pakainya kemudian menjadikan seni buncis lazim disebut
dengan istilah dayak-dayakan yang berarti menyerupai kostum suku dayak
dikalimantan.
Para
pemain dalam pertunjukannya membawa alat musik angklung berlaras slendro,
masing-masing membawa satu buah alat musik berisi satu jenis nada berbeda, enam
orang diantaranya memegang alat bernada 2(ro) lu(3) 5(ma) 6(nem) 1(ji
tinggi) dn 2(ro tinggi), dua
orang yang lain memegang instrumen kendhang dan gong bumbung. Dalam
membangun sajian musical, masing-masing pemain menjalankan fungsi nada sesuai
dengan alur balungan gendhing. Dari
alat-alat musik yang demikian, mereka mampu manyajikan gendhing-gendhing
Banyumasan.
- KERONCONG
Musik
Keroncong awalnya berasal dari Bangsa Portugis yang dibawa ke Indonesia
pada masa penjajahan. Akan tetapi pada saat itu instrumen yang ada
hanya Cak, Cuk, Gitar dan Bas Bethot. Dalam Perkembangannya musik keroncong di
Indonesia pada umumnya dan di Banyumas
khususnya mengalami penambahan instrumen
berupa cello, viola dan flute/suling.
Ada yang beranggapan musik keroncong merupakan musik asli Indonesia.
- BONGKEL
Bongkel
adalah instrumen musik bambu yang merupakan hasil karya anak bangsa di pedesaan
agraris, pada masanya alat ini sangat popular dikalangan petani hutan dan lahan
kering karena para petani pada jaman dimana lingkungan hutan masih rimba dan
binatang huniannya sebagai ancaman bagi para petani, alat ini menjadi alat
pengusir binatang baik binatang perusak tanaman maupun
binatang-binatang pemangsa lainnya.
Pada masa
dimana alat ini belum tercipta, para petani mengalami kesulitan dan ancaman
yang membahayakan bagi para petani, karena sering petani harus berhadapan
langsung dengan binatang tersebut secara tiba-tiba, dengan terciptanya alat ini
maka para petani tidak langsung berhadapan dengan binatang, tetapi dengan
bunyian bongkel yang ritmik di kejauhan maka binatang akan berlari karena
secara naluriah bunyian tersebut dianggap sebagai ancaman.
Sesungguhnya alat bongkel ini tercipta terinspirasi dari alat pertanian
yang lain, yaitu panja kenclung yaitu alat untuk melubangi tanah yang akan
menjadi media benih padi atau palawija dimusim tanam lahan kering. Dari panja kenclung ini kemudian timbul
kreasi petani untuk membuat bongkel untuk menghalau binatang, bongkel berasal
dari dua kata bong dan kel, bong untuk menyebutkan nada rendah dan kel untuk
nada tinggi pada rangkaian bambu kenclung tersebut. Dari bongkel ini kemudian
berkembang menjadi angklung, bentuk angklung ini sama dengan bongkel, kalau
bongkel empat nada dirangkai menjadi satu,
kalau angklung tiga nada dirangkai menjadi satu, namun cara memainkannya sama
yaitu digerakan/digetarkan bersama.
- RINDING
Rinding
adalah sebuah alat musik tradisional yang terbuat dari pelepah aren yang kering dan dirangkai dengan
benang sehingga menghasilkan bunyi yang indah, pada mulanya rinding digunakan
oleh para penggembala kerbau, sapi atau kambing untuk menghibur diri ditengah
ladang dan terik matahari sambil menunggu hewan gembalaannya
kenyang makan rumput, musik rinding hampir punah, yang masih ada/bertahan di wilayah
kecamatan Gumelar tepatnya desa Telaga.
- MENOREK
Manorek
adalah suatu kesenian yang pada masa itu dijadikan sebagai sarana untuk
penyebaran agama Islam, seni manorek
disebarkan oleh tokoh-tokoh agama Islam pada waktu itu, yang diantaranya adalah : amir
Hamzah dan Ambyah. Ambyah menjadi raja
dan Amir Hamzah sebagai patihnya dengan nama Umar Maya. Kedua tokoh tersebut menyebarkan agama Islam dengan
gigihnya, sampai bisa menaklukan beberapa raja diantaranya : Raja Lamdaur, Raja Tamtanus dan Raja Matal
yang pada saat itu bebar-benar memusuhi islam. Didesa gentawangi Kecamatan Jatilawang seni
manorek masih dipertahankan keberadaannya/diuru-uri, seni manorek Gentawangi berdiri pada tahun
1947 dengan nama Manorek Wahyu Aji.
- GANDALIA
Seni tradisi
Gandalia adalah kesenian tradisi dari dusun Kalitanjung desa Tambak Negara
Kecamatan Rawalo. Pada mulanya dilakukan oleh Ki Bangsa Setra asli penduduk
dusun Kali Tanjung (sekitar tahun 1925).
Berawal
dari sekedar mengisi waktu luang diladang/alas sekaligus sebagai
pengusir atau menjauhkan dari gangguan babi hutan (hama perusak tanaman petani)
Ki Bangsa Setra membuat sebuah alat musik yang terbuat dari bambu. Berbekal alat seadanya jadilah alat musik
mirip dengan alat musik angklung berisi empat nada, nada 2,3,5 dan 6 (nada
gamelan slendro) dan diberi nama Gandalia yang berasal dari kata Gandal/Gondol dan
lia, yang
artinya men ora digondol neng lia (hasil kebunnya) oleh hama perusak terutama
babi hutan.
Seiring
perkembangan jaman seni tradisi gandalia dikolaborasikan dengan calung, karena cara memainkan
alat nusik gandalia sangatlah sulit,
ini terbukti sampai sekarang hanya ada 4 (empat) orang yang bisa memaninkan
alat musik tersebut. Berikut nama penabuh
gadalia yaitu
Bapak Sanwiyata, Bapak Turmidi, Bapak Kusnarjo dan Bapak Kusmeja. Dan keempat pemusik tersebut masih exsis
mempertahankan alat musik tersebut, terbukti dari ISI surakerta
telah mendokumentasikannya. Dalam acara-acara kebudayaan gandalia pun sering
tampil mengikuti Festival.
- EBEG
Ebeg adalah kesenian tradisional
yang tersebar hampir di seluruh Jawa tengah tak terkecuali di daerah Banyumas,
pertunjukan ebeg diiringi dengan gamelan,
dengan jumlah penari cukup bervariasi/relatif sesuai
kebutuhan group dari ada yang 6 , 8, 10 sampai dengan 20 orang, penari bisa laki-laki atau perempuan. Penampilannya dimulai
dari tarian sampai dengan janturan, dan gapetan, yang dipimpin oleh penimbul atau
dalang ebeg, tarian ebeg ini menggunakan
kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu, para penari akan sadar kembali
setelah dibacakan mantra oleh penimbul.
- GENTHOAKAN
Jaman
dahulu ketika belum ada alat modern istilah berteriak di desa Kedhungpring
dikenal dengan sebutan Genthoak,
Genthoak adalah cara efektif untuk menyampaikan pesan kepada umum secara
mudah, bagi anak-anak kecil yang sebaya
dalam mengajak teman bermain cukup genthoak, Menyampaikan pesan tanda ada
bahaya bisa dengan genthoak, memanggil orang jarak jauh cukup dengan genthoak
dan dalam melampiaskan kegembiraan anak-anak cukup dengan genthoakan, Jadi
genthoakan merupakan bagian dari budaya komunikasi, budaya berekspresi dan
budaya peduli sesama.
Setelah
negara kita tercinta berdaulat, tingkah-tingkah genthoak masih terus
berlangsung, karena negara sudah aman genthoakan banyak dimanfaatkan untuk
memanggil teman untuk bermain bersama dibawah sinar bulan, bersendagurau,
nyanyi bersama-sama dan bahkan menari-nari dengan gerakan-gerakan ekspresi
kegembiraan. Lama kelamaan tarian
diiringi dengan alat musik, walaupun alat musiknya sederhana yaitu gumbeng,
alat musik dari bambu dan bunyinya hanya thing thong thing blung namun sangat
bisa menghibur pemuda-pemudi kampung.
- DALANG
JEMBLUNG
Dalang Jemblung
merupakan seni tutur tradisional yang dilakukan oleh empat orang sampai lima orang
pemain, yang menurut masyarakat setempat
Jemblung jarwo dhosok
(penggabungan dua kata menjadi kata bentukan baru) yang berarti jenjem -
jenjeme wong gemblung (gila) pengertian
ini diperkirakan bersumber dari tradisi pementasan jemblung yang menampilkan
pemainnya orang gila, mereka tampil tanpa properti artistik apapun, dalam
pementasannya seperti halnya sandiwara/ketoprak dengan aransemen musikal yang dibangun melalui mulut (oral),
dan biasanya dalam pertujukannya sering menampilkan cerita atau babad, legenda
serta mengupas serat ambiya/kisah para nabi yang adeganya sudah diplot seperti
pada pertunjukan ketoprak.
- AKSIMUDA
Aksimuda
adalah kegiatan yang dilakukan
pada masa kolonial Belanda oleh para
santri sebagai wujud apresiasi contra terhadap penjajahan, hal itu dibuktikan dalam
bentuk tariannya menggunakan jurus jurus pencak silat yang dikemas dengan
iringan rebana serta nyanyian atau lagu lagu yang bernuansa Islami. Aksimuda tumbuh dan berkembang diwilayah Kabupaten Banyumas seperti Kecamatan Tambak, Banyumas, Kebasen dan
Wangon yang pada saat itu menjadi kantong kantong para santri dan kyai sebagai
pergerakan umat Islam. Setelah mengalami perkembangan jaman hingga
kini Aksimuda menjadi seni pertunjukan yang variatif geraknya serta
menmpilkan lagu lagunya dari yang tradisional sampai lagu modern, untuk mensiasati agar bisa diterima oleh segala
lapisan/elemen masyarakat.
- GUMBENG
Gumbeng adalah permainan
rakyat yang terdiri atas potongan ruas bambu yang di laras dengan nada-nada
tertentu, diletakan di atas kaki yang memainkannya dengan cara di julurkan ke
depan dalam posisi duduk. Gumbeng berkembang di sebagian wilayah kabupaten
Banyumas.
- SLAWATAN JAWA
Slawatan Jawa adalah musik
bernafas islami dengan perangkat berupa terbang Jawa. Semua pemain slawatan
Jawa adalah laki-laki dewasa. Slawatan Jawa masih berkembang hampir di seluruh
wilayah kabupaten Banyumas. Syair slawatan Jawa menggunakan puji-pujian yang
isinya menggambarkan rasa syukur dan manembah kepada Allah SWT.
- KASTER
Kaster adalah musik
tradisional dengan alat musik berupa siter, gong bumbung, dan kendhang kotak
(terbuat dari kotak kayu sebagai resonator dengan sumber bunyi berupa tali
karet yang diikatkan di kedua sisi kotak). Dalam pertunjukannya disajikan
gendhing-gendhing gaya Surakarta, Yogyakarta dan gaya Banyumas. Kaster masih
berkembang di wilayah Purwojati, Sokaraja dan Banyumas.
- UJUNGAN
Ujungan salah satu bentuk
ritual tradisional minta hujan dengan cara adu manusia. Ujungan merupakan adu
manusia dengan properti berupa sebatang rotan. Pemain ujungan adalah laki-laki
dewasa yang memiliki kekuatan untuk menahan benturan pukulan lawan. Sebelum
beradu pukul, pemain ujungan menari-nari dengan iringan tepuk dan sorak-sorai
penonton. Ritual ini hanya dilaksanakan pada saat terjadi kemarau panjang.
Hingga saat ini ujungan masih berkembang di kecamatan Somagede.
- CALENGSAI
Calengsai adalah seni
pertunjukan yang merupakan perpaduan antara kesenian asli Banyumas yaitu Calung
dan Lengger dengan kesenian Tionghoa yaitu Barongsai sehingga lahirlah karya
seni kolaborasi yang disebut CALENGSAI yang merupakan kependekan dari kata
Calung, Lengger dan Barongsai. Dalam pertunjukannya kesenian Calengsai
dimainkan oleh seniman-seniman pribumi dan dari etnis Tionghoa yang tergabung
dalam Paguyuban Asimihoa (Asimilasi Pribumi dan Tionghoa) Kabupaten Banyumas.
- ANGGUK
Angguk adalah bentuk kesenian
islami yang dalam sajiannya berupa tari-tarian dengan iringan musik
terbang/genjring. Pertunjukan amgguk terdiri dari 8 (delapan) orang laki-laki,
yang dalam penyajiannya bisa dilakukan
orang dewasa/anak-anak, sesuai kondisi masing-masing kelompok yang ada di mana
kesenian angguk masih bertahan keberadaannya. Salah satu group yang masih eksis
adalah “Mugi Rahayu” desa Klapagading kecamatan Wangon.
- DHAENG atau APLANG
Dhaeng atau Aplang adalah kesenian bernafas islami serupa
dengan kesenian angguk, pemainnya terdiri atas 8 (delapan) penari wanita. Dhaeng
atau Aplang masih berkembang di sebagian wilayah kabupaten Banyumas terutama di
kecamatan Somagede.