Minggu, 29 Juni 2014

FOTO SEKITAR LEBARAN BULAN AGUSTUS 2013, DI KALIPELUS, DI SOLO, DAN DI BAWEN,


  GENDIS ANAKE AGUS DEGEL SIAP KE KOLAM


 SIFA MEMPERSIAPKAN BUMBU MASAK GRAMEH



UTAMA MEMPERSIAPKAN GRAMEH

UTAMA  SIAP MATENI GRAMEH


IBU YULI DARI RUMAH MBAH DUL SIRIN UTK SILATURAHMI

DARI RUMAH PAK DEMARLIAN


DENGAN MBAH KUNG SIWIL DI SOLO

 NGGENDONG ASZKA DI BAWEN


NONTON PAMERAN BUKU DI SOLO


 DI STASIUN BALAPAN SOLO

LEK TEGUH, PUTRI, OPIK DAN RIZGA

AZKA DAN PINKAN DI BAWEN 

PAMERAN BUKU DI SOLO

GRAMEHE GEDE-GEDE

NANGKAP GRAMEH DI KALIPELUS

Jumat, 27 Juni 2014

SYIFA DAN IDA PIKNIK KE BALI BULAN FEBRUARI TAHUN 2012


SALAM KEMENANGAN TELAH MENAKLUKKAN BALI DI DEPAN PURA TANAH LOT, BALI
 

DI DEPAN PURA TANAH LOT BALI


NAIK ANGKUTAN MAU KE TOKO KAOS BALI "JOGGER"


IDA DI PANTAI KUTA

FOTO DI MALANG KOTA BATU 22-26 MEI 2014 PENTAS BUDAYA NUSANTARA


DI TENGAH PERKEBUNAN APEL


DI DEPAN PENGINAPAN

BEBERAPA BANGUNAN BERSEJARAH DI KABUPATEN BANYUMAS



BEBERAPA BANGUNAN / PENINGGALAN BERSEJARAH
DI KABUPATEN BANYUMAS


B. PENINGGALAN SEJARAH

1. Pemandian Kalibacin

Menurut sejarah, Obyek wisata Husada Kalibacin ini sudah banyak dimanfaatkan orang sejak zaman Pasirluhur ( Abad 15 ) , tepatnya adalah ketika Pasirluhur dibagi lima yaitu satu bagian ( 4 Desa Pasir sekarang ) adalah daerah Mancagangsal yaitu wilayah pemutihan yang mendapatkan tugas khusus untuk merawat pusaka dan makam kerabat keraton yang ada di Pasirluhur, dimana wilayah ini diberikan kepada putra Adipati Pasirluhur yang terakhir yaitu Pangeran Perlangon yang bernama Pangeran Langkap, dan empat desa perdikan yang diberikan kepada empat keponakan Adipati Pasirluhur   ( Pangeran Perlangon ) yang salah satunya bernama Ki Bonjok. (Tiga orang lainnya masing-masing bernama Ki Gede Sule, Ki Gumingsir dan Ki Ambilung).
Sebelum Bonjok berkuasa di wilayah itu (sebagai Desa Perdikan) tempat itu sudah dikenal banyak orang dengan nama “Gua Teleng” namun belum dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Setelah Ki Bojok berkuasa di situ dan “Gua Teleng” banyak dimanfaatkan banyak orang untuk mengobati berbagai macam penyakit kulit, maka “Gua Teleng” berganti nama dengan nama yang baru yaitu “Tuk Semingkir” karena berbagai macam penyakit setelah mandi di mata air ini segera sembuh. (semingkir artinya pergi / hilang / sembuh).
Satu – dua orang sembuh karena mandi di sana tidaklah mampu membuat tempat itu dikenal banyak orang, namun setelah banyak orang sembuh karena mandi di sana, maka tempat itu lalu banyak dikenal orang bahkan banyak orang berkunjung untuk berobat disana. Orang sakit kulit, mandi disana kemudian sembuh; orang sakit tulang, mandi di sana kemudian sembuh; orang sakit syaraf, mandi di sana kemudian sembuh; orang sakit mata, mandi di sana kemudian sembuh, pokoknya berbagai macam penyakit dapat sembuh kalau mandi di sana.
Di zaman Martanegara memerintah di sana, datanglah seorang Mubaligh dari Demak menyebarkan agama Islam. Sang Mubaligh tersebut bermukim di sekitar Tuk Semingkir untuk memudahkan mengambil air wudu dan keperluan lainnya. Setelah sang Mubaligh pergi, maka tempat itu dikeramatkan orang sebagai petilasan wali. Sedangkan pakaian dan barang-barang lainnya berupa tulisan-tulisan di daun lontar, terbang, rebana, tombak dan lain-lain yang ditinggal sang mubaligh disimpan di Balai Malang yang letaknya hanya sekitar 200 M dari Tuk Semingkir.
Sejarahpun terus ditulis dan sampailah pada angka tahun 1830 dimana Pemerintah Hindia Belanda menguasai Banyumas (Kabupaten Banyumas dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 1 Nopember 1830). Diam-diam para pejabat yang berkuasa waktu itu tertarik akan apa yang terjadi di Tuk Semingkir. Banyak orang dengan berbagai penyakitnya berkunjung ke situ. Setelah diadakan penelitian ternyata mata airnya tidak mengandung gas yang berbahaya bagi kehidupan manusia, justru mengandung mineral yang antara lain : belerang, kapur, garam, soda, minyak tanah, logam-logam seperti besi, tembaga, perak dan bahkan juga emas meskipun kadarnya hanya kecil. Maka pada tahun 1892 dibangunlah pemandian itu, dan dibuka untuk umum oleh Raden Dipowinoto (Wedono Banyumas). Bangunan tersebut menggunakan bahan dari kayu, bambu dan beratap dari welit, berdiri di atas tanah yang berstatus Guvernement Ground (G. G). pada waktu itu juga diadakan pembangunan berupa perluasan belik mata air menjadi seperti sebuah sendang, kemudian juga ditanami pohon beringin. Sejak saat itu “Tuk Semingkir” berganti nama menjadi “Tamba Wringin Tirta Hoesada” yang berarti air pengobatan.










Dengan telah dibukanya tempat itu untuk umum, maka dengan itu pula dan untuk yang pertama kalinya, yaitu pada tahun 1892 di Kabupaten Banyumas telah berdiri satu objek wisata pengobatan tertua dengan nama “Tamba Wringin Tirta Hoesada”.
Pada tahun 1909 berkenaan dengan hari kelahiran (Hari Ulang Tahun) Putri Yuliana, Putra Nalendra Praja Netherland, tempat itu dibangun permanen dengan biaya dari negara, adapun sebagai pemimpin pembangunan tersebut adalah Raden Danusubroto (Wedana Banyumas) secara bertahap.
Setelah kamar mandi yang paling timur selesai dibangun, yang pertama kali siram (mandi) disitu adalah kanjeng Sunan Pakubowono X.
Pendirian Pemandian Kalibacin diabadikan dalam sebuah prasasti yang dibuat tahun 1892 oleh R. Dipowinoto. Prarasti ditulis dengan huruf dan bahasa Jawa, berbentuk tembang dandanggula, terdiri dari 45 baris yang terbagi  menjadi 2 bidang, masing-masing berisi 23 baris dan 22 baris.

2. Pendopo Si Panji

Pendopo duplikasi si Panji merupakan warisan arsitektur Indies yang merupakan wujud alkulturasi yang sangat kental antara kebudayaan Jawa, kabupaten Barat dan kearifan lokal Banyumas. Dalam kontes kebudayaan Nusantara, kebudayaan indies tercipta dari kebudayaan barat (dalam hal ini belanda ) dan kebudayaan timur (dalam hal ini kebudayaan Jawa ) yang hidup sekitar abad 19. Perkembangan budaya indies di wilayah Banyumas paling mudah di jumpai pada berbagi bentuk bangunan peninggalan kolonial Belanda, mulai dari fasilitas umum hingga rumah-rumah tinggal. Ciri utama gaya arsitektur Indies adalah memadukan berbagi elemen timur,dengan elemen barat, memiliki luas tanah yang sangat besar.
Pendopo si Panji  diperkirakan di bangun pasca perjanjian Giyanti 1775, yaitu pada saat Bupati Banyumas di jabat oleh Raden Tumenggung Yudanegara II diangkat menjadi Patih Sultan Yogyakarta bergelar Patih Danurejo I.

 
 















Pendopo Duplikat Si Panji Banyumas
 
 




















3.Masjid Kajiwatu

Masjid  Batu  yang terletak di Desa Tamansari, Kecamatan Karanglewas ini dikenal  oleh  masyarakat  sekitar  dengan nama  MASJID  KAJI  WATU. Nama masjid tersebut cukup erat berhubungan dengan ikatan emosional masyarakat sekitar wilayah tersebut,  karena  yang  membuat  masjid  tersebut  adalah  seorang  tokoh  agama  didaerah  tersebut,  yang  mempunyai  kelebihan  memecah  batu  sebesar  rumah  untuk  disulap  menjadi  sebuah  bangunan  masjid.  Dengan  kekuatan  doa-doa serta ketekunan usahanya,  Mbah  Abdulah  Ngisa  berhasil membuat  tempat  ibadah  dari  batu  yang  ada  di  pekarangannya.
Mbah  Abdulah  Ngisa  waktu  kecilnya  bernama  Darsan  lahir   tahun   1850-an.  Setelah  naik  Haji  Darsan  berganti  nama  Abdulah  Ngisa,  untuk  mengingat  sejarah  pertama  kali  membelah  batu  di  waktu  sholat  Isa. Kaji watu juga bisa merarti mengaji di atas batu atau mempelajari ajaran-agama sambil duduk di atas batu.
Kondisi  batu  sebelum  dibuat  masjid  konon  kabarnya  sangat  angker  dan  banyak  penghuni  lelembut  yang  sering  mencelakakan  baik  hewan  maupun  manusia. 
Di  suatu  saat  Mbah  Abdulah  Ngisa  kedatangan  tamu  seorang  ulama  dari  Buntet  Cirebon  yang  bernama  Kyai  Abbas,  bahwa  batu  ini  bisa  untuk  tempat  berlindung  pejuang  Indonesia  untuk  melawan  Belanda.  Tentara  Belanda  tidak  berani  menyerang  tentara  RI  yang  sedang  berlindung  di  sekitar  batu  yang  angker  tersebut. 
Masjid Batu  asal mulanya adalah sebuah batu besar  kemudian dipecah oleh mbah Abdulah Ngisa sampai menjadi sebuah lantai. Pecahan batu ada yang dibuat tiang , dinding dan daun pintu. Dengan ketekunan mbah Abdullah Ngisa  pecahan pecahan batu itu disusun dan dibuat sebuah rumah ibadah yaitu Masjid Batu, yang artinya sebuah bangunan masjid yang dibuat serba batu.Kelebihan  pecahan batu sebagian untuk membangun rumah tinggalnya yang tidak jauh dari lokasi.  ( ditulis kembali oleh Karsono. Ama.Pd Pamong Budaya Kepurbakalaan Dinbudpar Kab. Banyumas)

 


















4. Stasiun Kereta Api Purwokerto (Stasiun Raya)

Stasiun Raya Purwokerto terletak di Kelurahan Kober, Kecamatan Purwokerto Barat.  Stasiun Raya yang dibangun tahun 1915 tersebut menempati areal seluas 500 m x













150 m, dengan luas bangunan keseluruhan  , panjang 75 m ,lebar 40 m, dan tinggi 10 m.
Pembangunan perkeretaapian di wilayah Banyumas sudah mulai dirintis sejak tahun 1881, tetapi pada saat itu jalur kereta api belum melewati Purwokerto.  Secara riil   lokasi yang menjadi stasiun raya sekarang sudah mulai dilalui kereta api  sejak tahun 1892, dimana pada tahun 1892 perusahaan swasta SDS ( Serajoe Dal Stoom Tram Maaschappi )  membuka jalur Maos Purwokerto. Pembukaan jalur ini sebagai kelanjutan jalur yang telah dibuka oleh Pemerintah Hindia Belanda antara Bandung – Jogjakarta  melewati Maos dan Kroya melalui perusahaan Kereta Api SS ( Staat Spoorwegen )

 Pada tahun 1915 SDS ( Serajoe Dal Stoom Tram Maaschappi )  membuka jalur lagi Maos – Cilacap.
 Semasa zaman Jepang rel KA SDS sebagian besar dibongkar dan tinggal rel antara Purwokerto – Wonosobo.
 Pada masa perjuangan 1945 – 1949 jalur KA tersebut sangat berperan untuk
transportasi ke daerah perjuangan antara Cilacap, Purbalingga, Wonosobo, Temanggung, dll.
 Pada pertempuran Ambarawa bantuan pejuang dari sekitar Purwokerto telah memanfaatkan jalur KA tersebut.

5. Masjid Saka Tunggal Cikakak

Masjid Saka Tunggal terletak di desa Cikakak kecamatan Wangon berjarak  30 Km arah Barat daya kota Purwokerto. Dinamakan Masjid Saka Tunggal, karena memang hanya memiliki satu pilar utama penyangga. Disekitar masjid terdapat  makam seorang penyebar  agam Islam  yang bernama Kyai Mustolih. Berdasarkan  ceritera nara sumber  yaitu KGPH Dipo Kusumo dari Keraton Surakarta Hadiningrat dan Drs. Suwedi Montana , seorang peneliti Arkeologi Islam dari Puslit Arkenas Jakarta pada tanggal 29 Januari 2002 dijelaskan sebagai berikut :
Sunan Panggung adalah salah seorang dari kelompok Wali sanga yang merupakan murid  Syech Siti Jenar. Sunan Panggung meninggal pada masa pemerintahan Sultan Treneggono di Demak Bintoro antara tahun 1546-1548 M. Menurut Serat Cabolek, Sunan Panggung dihukum dengan cara dibakar atas kesalahannya menentang suatu syariat. Namun demikian dalam hukumannya tersebut ia tidak mati, bahkan saat pada saat itu mampu menulis suluk  yang kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Malangsumirang.
Sunan Panggung menurunkan anak  bernama Pengeran Halas. Pangeran Halas menurunkan Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan menurunkan Kyai Cikakak. Kyai Cikakak menurunkan Resayuda. Kyai Resayuda menurunkan Ngabehi Handaraka, dan Ngabehi Handaraka menurunkan Mas Ayu Tejawati, Istri Amangkurat IV, yang menurunkan Hamengkubuwana, Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kyai Cikakak yang merupakan keturunan ketiga Sunan Panggung tidak diketahui nama aslinya. Nama “ Kyai Cikakak “ diperkirakan merupakan sebutan, karena ia bertempat tinggal di Desa Cikakak. Di Desa inilah Kyai Cikakak mendirikan sebuah masjid dengan keunikan tersendiri, yaitu dengan tiang utama tunggal ( saka tunggal ) yang masih lestari hingga saat ini.
Masjid saka Tunggal di bangun di tempat suci “ Agama Kuno “              ( agama yang berkembang sebelum masuknya agama Hindu Budha )  yang dapat dibuktikan di sekitar masjid  terdapat sebuah batu menhir yang merupakan tempat untuk kegiatan ritual : “ agama kuno “ dibangun pada tahun 1522 M. Di sekitar tempat ini terdapat hutan pinus dan hutan besar lainnya yang di huni oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti di Sangeh Bali.











Saat ini Masjid Saka Tunggal belum kehilangan sama sekali wajah aslinya. Bedanya, gebyok kayu dan gedek bambu yang semula menjadi dinding masjid ini telah diganti dengan tembok.
Salah satu tampilan asli masjid ini yang belum hilang adalah saka tunggal di tengah-tengah bangunan masjid. Saka tunggal tersebut dibuat dari galih kayu jati berukir motif bunga warna-warni.Di bagian pangkal berdiameter sekitar 35 sentimeter. Saka ini berdiri hingga di atas wuwungan yang berbentuk limas, seperti wuwungan pada Masjid Agung Demak. Salah satu keunikan lain Saka Tunggal adalah keberadaan empat helai sayap dari kayu di tengah saka. Menurut Sopani sang Juru pelihara Masjid Saka Tunggal tersebut, empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan ”papat kiblat lima pancer”, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang empat. Mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak ingin jatuh. ”Hidup itu harus seimbang,” kata Sopani.
Papat kiblat lima pancer ini sama dengan empat nafsu yang ada dalam manusia. Empat nafsu yang dalam terminologi Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi watak manusia.
Keaslian lain yang masih terpelihara di masjid tersebut adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imaman. Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.
Selain itu atap dari ijuk berwarna hitam. Atap seperti ini mengingatkan atap bangunan pura zaman Majapahit atau tempat ibadah umat Hindu di Bali. Tempat wudlu pun juga masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun dindingnya sudah diganti dengan tembok.
Keunikan masjid ini juga terasa pada tradisionalisme keagamaan umat yang beribadah di dalamnya. Setiap akan shalat berjamaah selalu didahului dengan puji-pujian atau ura-ura yang dilagukan, seperti kidung Jawa. Beberapa jemaah menggunakan udeng atau ikat kepala biru bermotif batik.
Tata cara shalat jamaah di masjid kuno ini tak jauh berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya. Khusus pada jamaah shalat Jumat, jumlah muazin atau orang yang mengumandangkan azan ada empat. Selain itu, semua rangkaian shalat Jumat dilakukan berjamaah, mulai dari shalat tahiyatal masjid, khoblal juma’ah, shalat Jumat, ba’dlal jum’ah, shalat dzuhur, hingga ba’dal dzuhur. Semua muazin mengenakan baju panjang warna putih dan udeng atau ikat kepala khas Jawa warna biru bermotif batik.

6. Pabrik Gula Kalibagor

Pabrik Gula Kalibagor  terletak di Dukuh kalibagor, Desa Kalibagor, Kecamatan Kalibagor , berada di lokasi  pinggir jalan raya antara Sokaraja dan Kalibagor , atau 8 km dari kota Purwokerto.  Pabrik Gula ini  dibangun di atas areal 400 m x 200 m. Sedangkan bangunannya sendiri memiliki luas panjang 150 m, lebar 100 m, dan tinggi 20 m.
















 


 
 


























Foto atas : Suasana sholat Jum’at di Masjid saka Tunggal Cikakak Kec. Wangon
Foto bawah : Tiang Tunggal pada Masjid Saka Tunggal Cikakak, Kec. Wangon
 
 





Sedangkan bangunannya sendiri memiliki luas panjang 150 m, lebar 100 m, dan tinggi 20 m.
Pabrik Gula ini dibangun  pada tahun 1839  oleh Edward Cooke Jr, seorang pengusaha swasta berkebangsaan Belanda,  yang memiliki naluri bisnis tinggi, serta jeli memanfaatkan situasi ekonomi negeri Belanda yang  sedang lemah.

Keberadaan pabrik gula yang pada saat itu merupakan pabrik gula terbesar di Jawa Tengah sangat erat  terkait dengan penerapan sistem Tanam Paksa  yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mengatasi krisis keuangan di negara tersebut pada awal-awal abad ke-19. Politik / Sistem tanam Paksa mengharuskan rakyat  di wilayah jajahan diharuskan menanam tanaman-tanaman yang bernilai ekspor.
Wilayah Kabupaten Banyumas, dan sekitarnya dipandang sangat cocok untuk penanaman tanaman tebu, selain itu transportasi darat dan air dari wilayah ini sangat mudah, sahingga pembangunan pabrik gula di  wilayah Kalibagor ini  tentunya dipandang sangat tepat.
 Tuan Edward Cooke Jr  sebagai pendiri pabrik meninggal pada tahun 1847, dan dimakamkan di komplek pabrik.













7.Klentheng HOK TEK BIO SOKARAJA

Klentheng Hok Tek Bio Sokaraja  terletak di Desa Sokaraja, Kecamatan Sokaraja, tepatnya di pertigaan  jalan raya menuju ke Purwokerto,  ke Banyumas dan menuju ke arah ke Purbalingga. Bangunan klentheng  seluas 1.500 m2  yang didirikan pada masa Kolonial Belanda ini, menempati lahan seluas 3.000 m2.

Berdasarkan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk pembangunan  Klenteng Hok Tek Bio Sokaraja, tertulis angka tahun 1826, dengan demikian diperkirakan awal pembangunan klenteng  ini dimulai tahun 1826.

Keberadaan sebuah klenteng senantiasa terkait dengan keberadaan leluhur umat pendukungnya. Menurut  penuturan dari juru kunci secara turun temurun ( Mini ) , usia leluhur yang ada di kelenteng kemungkinan lebih tua dari bangunan klenteng itu sendiri . Hal itu dibuktikan dengan keberadaan kereta jenazah milik kelenteng yang usianya lebih dari 400 tahun.
Walaupun Bangunan klenteng  sudah berdiri sejak awal abad 19 namun bangunan ini mulai digunakan sebagai kelenteng sejak tahun 1960 seiring dengan dimasukkannya Kiem Sien (patung leluhur) yakni Kongco Hok Tek Tjeng Sin ke dalam gedung. Sebelumnya, Kiem Sien Kongco Hok Tek Tjeng Sin berpindah dari rumah ke rumah. Setelah Kiem Sien Kongco Hok Tek Tjeng Sin, masuk pula Kiem Sien Dewi Kwan Im..

Ada salah satu keunikan  dalam klentheng ini , yaitu terdapat sebuah bangunan pendopo yang merupakan ciri khas bangunan Jawa. Keberadaan pendopo di Kelenteng ini , lantaran ada keterkaitan antara kelenteng dengan salah satu leluhur Kejawen (masyarakat Banyumas) yakni "Mbah Kuncung" yang merupakan leluhur masyarakat Banyumas.    

Sebagai bentuk penghormatan kepada Mbah Kuncung, pengurus kelenteng sepakat menempatkan altar leluhur Kejawen tersebut dalam satu ruangan bersama dengan altar Sang Buddha, Nabi Khonghucu, Maha Dewa Tay San Lauw Cin, dan Dewi Kwan Im.

 Pada bagian depan bangunan terdapat sebuah gapura yang menghadap ke barat dan di halaman kelenteng ada sebuah altar "Tuhan Allah" dan penghormatan kepada "Ibu Pertiwi".     Bangunan berikutnya berupa kelenteng dengan pendopo yang dimanfaatkan para umat atau peziarah sebagai ruang tunggu sebelum melakukan ritual sembahyang.

Bagian tengah kelenteng digunakan sebagai tempat leluhur tuan rumah dan altar Dewa Harimau (Hu Sen) serta altar Dewa Liong (Lung Sen).
Di tempat itu juga terdapat altar Dewa Hok Sien Hun (kebahagiaan), Dewa Lauw Sien Hun (rezeki), dan Dewa Siu Sien Hun (panjang umur) serta altar Dewa Peperangan atau Dewa Keadilan (Dewa Kwan Sien Tek Kun atau Kwan Kong).
Pada ruangan paling dalam atau ruang Sam Kauw (Tri Dharma) terdapat altar Tri Dharma (tiga nabi agung) yakni Sang Buddha, Nabi Khonghucu, dan Maha Dewa Tay San Lauw Cin dari aliran Tao (Taoisme). Altar Tri Dharma ini terletak di bagian tengah.
Sebelah kanan altar Tri Dharma terdapat altar Dewi Kwan Im (welas asih atau kebijaksanaan) dan sebelah kirinya terdapat altar Mbah Kuncung (para suci Kejawen).

















8.Komplek Dalem Kadipaten ( Komplek Pendopo Duplikat Si Panji Banyumas )

Kompleks Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas merupakan bangunan peninggalan Kadipaten Banyumas sebelum dipindah ke Purwokerto oleh Bupati Banyumas Martadireja II pada tanggal 7 Januari 1937.
Komplek Dalem Kadipaten Banyumas ini dibangun tahun 1706  oleh Kiai Adipati Yudonegoro II Bupati Banyumas ke 7.
Sebelum  lokasi Kadipaten Banyumas berada di tempat ini, Pusat pemerintahan Kadipaten Banyumas  sejak Adipati I ( Joko Kaiman  tahun 1582 ) sampai Adipati Banyumas ke-6 terletak di Desa Kejawar , kurang lebih  5 kilometer  dari  tempat ini.
Sebagai lokus bekas Kadipaten, Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas telah menjadi salah satu artefak sekaligus landmark (tetenger) dari perjalanan panjang sejarah Kadipaten Banyumas yang pertama kali dibangun oleh Joko Kaiman yang bergelar Kanjeng Adipati Warga Utama II (Adipati Mrapat).

Kondisi eksisting Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas mulai dari alun-alun, pintu gerbang, pendopo, longkangan, dalem ageng, griya ageng, boga sasana, senthong kiwa, senthong tengen, bale peni, bale warni hingga tamansari, selain hadir sebagai artefak sejarah, juga memiliki kedalaman filosofi yang didasarkan pada ajaran Jawa. Dari sisi arsitektur, bangunan Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas merupakan perpaduan yang sangat kental antara arsitektur tradisional Jawa dan arsitektur kolonial Belanda.

Dari sisi filosofis, Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas mengandung ajaran kosmologi Jawa tentang keblat papat lima pancer (empat arah mata angin dan titik pusat imaginer yang berada di tengah-tengah). Bangunan pendopo dikelilingi empat pintu gerbang utama. Gerbang pada sisi timur dan barat searah dengan terbit dan tenggelamnya matahari yang menjadi simbolisasi dari purwa, madya dan wasana yang menggambarkan kehidupan manusia di dunia dari yang semula tidak ada, menjadi ada, dan pada saatnya akan kembali tidak ada. Sedangkan gerbang pada sisi selatan dan utara searah dengan laut selatan dan gunung Slamet, menggambarkan arah privasi (dalem Kadipaten) ke arah publik (masyarakat). Oleh karena itu di arah depan pendopo terdapat alun-alun yang di sisi kanannya terdapat masjid (menggambarkan sisi kebaikan) dan di sisi kirinya terdapat penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (menggambarkan sisi buruk).

Fakta demikian membuktikan bahwa Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas memiliki kedalaman nilai historis bagi masyarakat Banyumas secara keseluruhan. Dalam konteks perjalanan sejarah kebudayaan, nilai-nilai historis semacam ini menjadi bagian integral kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Ia menjadi spirit, kekuatan sekaligus motivasi bagi kehidupan pribadi dan kehidupan kolektif.

9. Monumen Panglima Besar Jenderal Soedirman

Monumen yang terletak  di pinggir Sungai Logawa Kecamatan Karanglewas , kurang lebih 4 km dari kota Purwokerto ini dibangun untuk mengenang perjuangan Jenderal Soedirman di Kabupaten Banyumas, khususnya Purwokerto.  Berkat keahlian  strategi dan kepandaian dalam bernegosiasi  dengan penjajah Jepang maka pengambilalihan kekuasanan dari penjajah Jepang kepada para pejuang di Kabupaten Banyumas berjalan tanpa pertumpahan  darah. Peristiwa tersebut terjadi









pada tanggal 15 Oktober 1945 bertempat di Markas Komando Kesatuan Pertahanan Jawa Tengah  di Magelang.

Kiprah perjuangan Soedirman di Kabupaten Banyumas  sudah dimulai sejak pemerintah  mulai merintis terbentuknya ketentaraan negara di Republik Indonesia yang baru berdiri. Pada tanggal 1  s.d  3  September 1945 para bekas  perwira PETA, Heiho, Seinendan, KNIL di Kabupaten Banyumas bertemu untuk membicarakan perihal pembentukan Badan Keamanan Rakyat ( BKR ) Banyumas. Pertemuan tersebut diadakan di gedung Yosodarmo di jalan Yosodarmo Purwokerto, dan dipimpin langsung oleh Soedirman.

Setelah BKR terbentuk dan Soedirman terpilih sebagai pimpinan umumnya, mereka bermarkas di gedung Landraat yang terletak di sebelah timur alun-alun Purwokerto.

Belum lama setelah BKR Kabupaten Banyumas terbentuk , pada tanggal 5 Oktober 1945 Pemerintah Pusat mengeluarkan Dekrit tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat ( TKR ) , maka para anggota BKR pun mentransformasikan diri menjadi anggota TKR dengan nama kesatuan yang baru yaitu Divisi V TKR dengan komandan Kolonel Soedirman.

10. Monumen Palagan Bondoyudo

Monumen yang dibangun tahun 1977  dan terletak di Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, serta berbentuk tugu  yang terdiri dari 3 bagian, yakni  bagian alas, tubuh dan puncak ini,  dibangun untuk mengenang peristiwa pertempuran antara penjajah  Belanda dengan para  pejuang Republik Indonesia  dari Kompi Priyadi yang terjadi pada tahun 1949.

Setelah kemerdekaan Indonesia  dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945, rupanya penjajah Belanda berkeinginan untuk  menguasai  kembali Indonesia. Tentu saja  hal tersebut  mendapat perlawanan  dari rakyat  Indonesia.

Masyarakat Gununglurah  dan sekitarnya yang dipelopori Kompi Priyadi dengan semangat heroik bahu membahu  bertempur melawan penjajah Belanda dan berhasil mengusirnya dari kawasan tersebut.

11. Pendopo Si Panji  Saksi Pengumuman Kemerdekaan

Dengan khidmat Bung Karno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia , pada tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00 wib dan disiarkan langsung oleh RRI pusat Jakarta. Tetapi momen bersejarah  tersebut gaungnya tidak sampai  ke seluruh pelosok tanah air, termasuk di Kabupaten Banyumas. Hal demikian sangat bisa dimaklumi karena meskipun Indonesia sudah merdeka, kekuatan Jepang di Indonesia waktu itu masih nyata.

Baru setelah Soedirman berhasil mengadakan perundingan dengan pihak Jepang untuk  pengambilalihan kekuasaan, maka para pemimpin di Kabupaten Banyumas merencanakan untuk mengadakan pengumuman  bahwa Indonesia sudah merdeka.

Pengumuman yang digagas oleh Residen Banyumas Mr. Iskak Tjokrohadisoerjo baru dilaksanakan pada hari Minggu, 30 September 1945 di Pendopo Kabupaten Banyumas Purwokerto.

Pagi harinya, yaitu Senin, 1 Oktober 1945, Soedirman menggerakkan demonstrasi dan pawai bersenjata bambu runcing di kota-kota di daerah Banyumas sebagai










dukungan kepada Pemerintah Daerah. Sejak saat itu seluruh kantor-kantor yang ada di Kabupaten Banyumas diambil alih oleh para putra daerah sendiri. Dan sejak saat itu pula masyarakat Banyumas mengetahui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebenarnya sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945.


12. Masjid Nur Sulaiman

Masjid Nur Sulaiman Banyumas dibangun tahun 1755 pada masa pemerintahan Adipati Banyumas Yoedanegara II  dan  diarsiteki oleh Bapak  Nur Daiman Demang Gumelem I sekaligus sebagai Penghulu Masjid  yang pertama. Sebagaimana konsep tata letak bangunan pada masa pemerintahan  kerajaan di Jawa,  posisi masjid selalu berada di sebelah barat alun-alun sebagai simbol kebaikan, berseberangan dengan letak penjara sebagai symbol kejahatan di sebelah timur alun-alun .

Secara administrasi Masjid ini berada dalam wilayah Desa Sudagaran, Kecamatan Banyumas kurang lebih  25  km dari kota Purwokerto.
Karena tidak adanya sumber tertulis yang pasti, menurut penuturan juru Pelihara Benda Cagar Budaya Masjid Nur Sulaiman bapak Djoni M. Faried, nama Nur Sulaiman  berasal dari nama Nur Daiman.
Masjid Nur Sulaiman di bangun di atas  tanah  seluas  4.950 m2,
Ruang utama:  22 x 15.5 m , Tinggi bangunan : 14.5 m,   Ruang serambi:              11 x  22 m , Ruang mihrab: 4 x 2.2 m,   tinggi  5.9 m. Mimbar: 2.2 x 1.2m   duwure 1.67 m. Maksura: 2.3 x 2.3 m
Masjid Nur Sulaiman memiliki ciri khusus  dan keunikan  antara lain ; 
·         Denah bujur sangkar
·         Ada  serambi
·         Batur tinggi 
·         Pintu utama  di sebelah timur
·         Mimbar   berbentuk tandu
·         Terdapat  Maksura ( tempat  Shalat khusus  penguasa)
·         Mihrab (ruang imam) ialah tajug susun 2 dilengkapi mahkota  berbentuk mirip gada.
·         4 pilar utama (saka guru)
·         12 pilar pendukung (saka pengarak)


















 


Masjid Nur Sulaiman   sebelah barat alun-alun Banyumas
 
 












13. SMA Negeri II Purwokerto

Gedung SMA II Purwokerto terletak di jantung kota Purwokerto , di tempat yang sangat strategis , tepatnya di Jalan Gatot Soebroto Purwokerto, dan masuk  dalam wilayah Kelurahan Sokanegara , Kecamatan Purwokerto Timur.
Gedung bersejarah yang dibangun di areal seluas  30.000 m2  dengan luas bangunan panjang 100 m , lebar 10 m dan tinggi 8 m  ini, dibangun  oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1929,  yang memang diperuntukkan bagi sekolah Kweekscool / Normal School,  dan dipergunakan  sampai diambil alihnya pemerintahan Hindia Belanda  oleh penjajah Jepang Tahun 1942.
Oleh penjajah Jepang Kweekschool dibubarkan  dan gedungnya dipakai sebagaii asrama Ken Pe Tai  ( Polisi Militer Jepang ).  Setelah Jepang  kalah  Belanda berupaya masuk  kembali ke Indonesia tahun 1947 dan gedung ini digunakan sebagai  markas tentara Belanda hingga tahun 1949.  Setelah Belanda kalah dan harus meninggalkan Indonesia tahun 1949, bekas asrama Belanda ini dipergunakan sebagai  asrama tentara Bataliyon Rajawali.
Dan ketika Gatot Subroto menjabat sebagai  komandan Divisi  di Jawa Tengah tahun 1950 , fungsi gedung  dikembalikan seperti semula yaitu sebagai gedung sekolah.







 


Gedung SMA  2 Purwokerto
 
 


























 


Pendopo Si Panji Purwokerto
 
 


















14. Masjid Saka Tunggal Legok Pekuncen

Masjid saka tunggal yang dinamakan Masjid Darussalam  ini, terletak di Dusun Legok, Desa Pekuncen, Kecamatan Pekuncen, kurang lebih 40 km  dari kota Purwokerto. Untuk mencapai lokasi ini tidak terlalu sulit, karena posisi masjid berada di tepi jalan raya  dan sangat strategis  berdekatan dengan stasiun Legok.
Masjid Saka Tunggal Darussalam didirikan pada tahun 1915 M atas prakarsa Bupati Purwokerto, yaitu Raden Mas Tumenggung Cokronegoro III, yang memerintah  Kabupaten Purwokerto pada tahun 1905 -1920 . Hal ini dapat diketahui dari prasasti yang menempel pada dinding masjid yang bertuliskan huruf arab berbahasa jawa yang berbunyi
” 6 Syuro 1846; 17-11-1915; 1334 Hijroh, Legok Kranggan Ajibarang. Yasa dalem Kanjeng Bendoro  Rahaden Mas Tumenggung Aryo Cokronegoro ingkang jumeneng Hadipati ing Nagari Purwokero Banyumas, Pengulu Hakim Muhammad Hadirejo, serta Landrat Purwokerto”
Apabila kita hitung , maka sejak 17 November 1915  sampai tanggal 7 September 2009 sudah berusia 33805 hari. Kita hitung mundur dibagi 7 akan sisa 2. Tanggal 7 September 2009 jatuh hari Senin Pon, maka tanggal 17 November 1915 jatuh hari Sabtu Manis.
Berdasarkan catatan sejarah , bahwa pada tahun 1831  s.d 1936 wilayah Banyumas terdiri dari 2 ( dua ) kabupaten, yaitu Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purwokerto. Pada tahun 1905-1920 Bupati Purwokerto dijabat oleh RMT Cokronegoro III. Pada masa pemerintahan beliau, dibangunlah jalur kereta api antara Kroya – Cirebon yang melalui kota Purwokerto, dan salah satunya stasiun Legok. Pada waktu itu belum ada  wilayah pekuncen, adanya wilayah Ajibarang, dengan perwakilannya di daerah Kranggan. Karena sarana transportasi  pemerintahan saat itu  menggunakan jalur kereta api, maka stasiun Legok  dikenal  sebagai Legok Kranggan. Padahal kenyataan sekarang Kranggan merupakan desa tersendiri, dan Legok termasuk dalam wilayah Desa Pekuncen. Di masa pembangunan stasiun itulah, RMT Cokronegoro mempunyai inisiatif untuk membangun sebuah masjid di komplek stasiun Legok yang terbuat dari beton , dan hanya memiliki satu tiang penyangga utama ( Saka Tunggal ). Pada tahun 1968  oleh pengelola masjid  Bapak Muchdjaeri , masjid Saka Tunggal ini diberi nama Masjid Darussalam.



















 



Masjid Saka Tunggal  Darussalam, Legok, Kecamatan Pekuncen
 
 



















Masjid ini dibangun di atas tanah seluas 20 m x 13 m , dengan tinggi bangunan 3,25 m, dan berbentuk segi 8 ( delapan ), terdiri 5 sisi di bagian serambidepan dan 3 sisi bangunan utama masjid. Tiang penyangga utama  adalah sebuah tiang beton ( adukan terbuat dari semen, kapur, pasir, semenmerah dan batu kali ) Tinag penyangg yang hanya satu dan berbentuk segi delapan ini disebut saka tunggal, yang mempunyai makna adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan bentuk segi 8 menandakan arah mata angin yang secara filosofis  mengandung makna  bahwa Masjid Saka Tunggal ini sebagai tempat syiar Islam  dapat tumbuh dan berkembang ke segala arah. Serambi bersudut 5 menandakan rukun Islam yang 5. Sedangkan sisi tembok 3 dinding melambangkan 3  kerukunan umat beragama, yaitu hubungan manusia dengan Allah swt, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam. Pintu serambi depan terdiri 3 pintu yang menandakan 3 amalan yang tetap dialirkan pahalanya oleh Allah swt yaitu amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak sholeh.









 



Saka Tunggal pada Masjid Darussalam Legok , Pekuncen