BEBERAPA BANGUNAN / PENINGGALAN BERSEJARAH
DI KABUPATEN BANYUMAS
B. PENINGGALAN SEJARAH
1. Pemandian Kalibacin
Menurut sejarah, Obyek wisata Husada Kalibacin ini sudah banyak
dimanfaatkan orang sejak zaman Pasirluhur ( Abad 15 ) , tepatnya adalah ketika
Pasirluhur dibagi lima yaitu satu bagian ( 4 Desa Pasir sekarang ) adalah
daerah Mancagangsal yaitu wilayah pemutihan yang mendapatkan tugas khusus untuk
merawat pusaka dan makam kerabat keraton yang ada di Pasirluhur, dimana wilayah
ini diberikan kepada putra Adipati Pasirluhur yang terakhir yaitu Pangeran
Perlangon yang bernama Pangeran Langkap, dan empat desa perdikan yang diberikan
kepada empat keponakan Adipati Pasirluhur
( Pangeran Perlangon ) yang salah
satunya bernama Ki Bonjok. (Tiga orang lainnya
masing-masing bernama Ki Gede Sule, Ki Gumingsir dan Ki Ambilung).
Sebelum Bonjok berkuasa di wilayah itu (sebagai Desa Perdikan) tempat itu
sudah dikenal banyak orang dengan nama “Gua Teleng” namun belum dimanfaatkan
sebagai obyek wisata. Setelah Ki Bojok berkuasa di situ dan “Gua Teleng” banyak
dimanfaatkan banyak orang untuk mengobati berbagai macam penyakit kulit, maka
“Gua Teleng” berganti nama dengan nama yang baru yaitu “Tuk Semingkir” karena
berbagai macam penyakit setelah mandi di mata air ini segera sembuh. (semingkir
artinya pergi / hilang / sembuh).
Satu – dua orang sembuh karena mandi di sana tidaklah mampu membuat tempat
itu dikenal banyak orang, namun setelah banyak orang sembuh karena mandi di
sana, maka tempat itu lalu banyak dikenal orang bahkan banyak orang berkunjung
untuk berobat disana. Orang sakit kulit, mandi disana kemudian sembuh; orang
sakit tulang, mandi di sana kemudian sembuh; orang sakit syaraf, mandi di sana
kemudian sembuh; orang sakit mata, mandi di sana kemudian sembuh, pokoknya
berbagai macam penyakit dapat sembuh kalau mandi di sana.
Di zaman Martanegara memerintah di sana, datanglah seorang Mubaligh dari
Demak menyebarkan agama Islam. Sang Mubaligh tersebut bermukim di sekitar Tuk
Semingkir untuk memudahkan mengambil air wudu dan keperluan lainnya. Setelah
sang Mubaligh pergi, maka tempat itu dikeramatkan orang sebagai petilasan wali.
Sedangkan pakaian dan barang-barang lainnya berupa tulisan-tulisan di daun
lontar, terbang, rebana, tombak dan lain-lain yang ditinggal sang mubaligh
disimpan di Balai Malang yang letaknya hanya sekitar 200 M dari Tuk Semingkir.
Sejarahpun terus ditulis dan sampailah pada angka tahun 1830 dimana
Pemerintah Hindia Belanda menguasai Banyumas (Kabupaten Banyumas dibentuk oleh
Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 1 Nopember 1830). Diam-diam para pejabat
yang berkuasa waktu itu tertarik akan apa yang terjadi di Tuk Semingkir. Banyak
orang dengan berbagai penyakitnya berkunjung ke situ. Setelah diadakan
penelitian ternyata mata airnya tidak mengandung gas yang berbahaya bagi
kehidupan manusia, justru mengandung mineral yang antara lain : belerang,
kapur, garam, soda, minyak tanah, logam-logam seperti besi, tembaga, perak dan
bahkan juga emas meskipun kadarnya hanya kecil. Maka pada tahun 1892 dibangunlah
pemandian itu, dan dibuka untuk umum oleh Raden Dipowinoto (Wedono Banyumas).
Bangunan tersebut menggunakan bahan dari kayu, bambu dan beratap dari welit,
berdiri di atas tanah yang berstatus Guvernement Ground (G. G). pada waktu itu
juga diadakan pembangunan berupa perluasan belik mata air menjadi seperti
sebuah sendang, kemudian juga ditanami pohon beringin. Sejak saat itu “Tuk
Semingkir” berganti nama menjadi “Tamba Wringin Tirta Hoesada” yang berarti air
pengobatan.
Dengan telah dibukanya tempat itu untuk umum, maka dengan itu pula dan
untuk yang pertama kalinya, yaitu pada tahun 1892 di Kabupaten Banyumas telah
berdiri satu objek wisata pengobatan tertua dengan nama “Tamba Wringin Tirta
Hoesada”.
Pada tahun 1909 berkenaan dengan hari kelahiran (Hari Ulang Tahun) Putri
Yuliana, Putra Nalendra Praja Netherland, tempat itu dibangun permanen dengan
biaya dari negara, adapun sebagai pemimpin pembangunan tersebut adalah Raden
Danusubroto (Wedana Banyumas) secara bertahap.
Setelah kamar mandi yang paling timur selesai dibangun, yang pertama kali
siram (mandi) disitu adalah kanjeng Sunan Pakubowono X.
Pendirian
Pemandian Kalibacin diabadikan dalam sebuah prasasti yang dibuat tahun 1892
oleh R. Dipowinoto. Prarasti ditulis dengan huruf dan bahasa Jawa, berbentuk
tembang dandanggula, terdiri dari 45 baris yang terbagi menjadi 2 bidang, masing-masing berisi 23
baris dan 22 baris.
2. Pendopo Si Panji
Pendopo duplikasi si Panji merupakan
warisan arsitektur Indies yang merupakan wujud alkulturasi yang sangat kental
antara kebudayaan Jawa, kabupaten Barat dan kearifan lokal Banyumas. Dalam
kontes kebudayaan Nusantara, kebudayaan indies tercipta dari kebudayaan barat
(dalam hal ini belanda ) dan kebudayaan timur (dalam hal ini kebudayaan Jawa ) yang
hidup sekitar abad 19. Perkembangan budaya indies di wilayah Banyumas paling
mudah di jumpai pada berbagi bentuk bangunan peninggalan kolonial Belanda,
mulai dari fasilitas umum hingga rumah-rumah tinggal. Ciri utama gaya
arsitektur Indies adalah memadukan berbagi elemen timur,dengan elemen barat,
memiliki luas tanah yang sangat besar.
Pendopo si Panji diperkirakan di bangun pasca perjanjian
Giyanti 1775, yaitu pada saat Bupati Banyumas di jabat oleh Raden Tumenggung
Yudanegara II diangkat menjadi Patih Sultan Yogyakarta bergelar Patih Danurejo
I.
|
|
Pendopo Duplikat Si Panji Banyumas
|
|
3.Masjid Kajiwatu
Masjid Batu yang
terletak di Desa Tamansari, Kecamatan Karanglewas ini dikenal oleh
masyarakat sekitar dengan nama
MASJID KAJI WATU. Nama masjid tersebut cukup erat
berhubungan dengan ikatan emosional masyarakat sekitar wilayah tersebut, karena
yang membuat masjid
tersebut adalah seorang
tokoh agama didaerah
tersebut, yang mempunyai
kelebihan memecah batu
sebesar rumah untuk
disulap menjadi sebuah
bangunan masjid. Dengan
kekuatan doa-doa serta ketekunan
usahanya, Mbah Abdulah
Ngisa berhasil membuat tempat
ibadah dari batu
yang ada di
pekarangannya.
Mbah
Abdulah Ngisa waktu
kecilnya bernama Darsan
lahir tahun
1850-an. Setelah naik
Haji Darsan berganti
nama Abdulah Ngisa,
untuk mengingat sejarah
pertama kali membelah
batu di waktu
sholat Isa. Kaji watu juga bisa
merarti mengaji di atas batu atau mempelajari ajaran-agama sambil duduk di atas
batu.
Kondisi batu
sebelum dibuat masjid
konon kabarnya sangat
angker dan banyak
penghuni lelembut yang
sering mencelakakan baik
hewan maupun manusia.
Di suatu
saat Mbah Abdulah
Ngisa kedatangan tamu
seorang ulama dari
Buntet Cirebon yang
bernama Kyai Abbas,
bahwa batu ini
bisa untuk tempat
berlindung pejuang Indonesia
untuk melawan Belanda.
Tentara Belanda tidak
berani menyerang tentara
RI yang sedang
berlindung di sekitar
batu yang angker
tersebut.
Masjid
Batu asal mulanya adalah sebuah batu
besar kemudian dipecah oleh mbah Abdulah
Ngisa sampai menjadi sebuah lantai. Pecahan batu ada yang dibuat tiang ,
dinding dan daun pintu. Dengan ketekunan mbah Abdullah Ngisa pecahan pecahan batu itu disusun dan dibuat
sebuah rumah ibadah yaitu Masjid Batu, yang artinya sebuah bangunan masjid yang
dibuat serba batu.Kelebihan pecahan batu
sebagian untuk membangun rumah tinggalnya yang tidak jauh dari lokasi. ( ditulis kembali oleh Karsono. Ama.Pd Pamong
Budaya Kepurbakalaan Dinbudpar Kab. Banyumas)
4. Stasiun Kereta Api Purwokerto (Stasiun Raya)
Stasiun Raya
Purwokerto terletak di Kelurahan Kober, Kecamatan Purwokerto Barat. Stasiun Raya yang dibangun tahun 1915
tersebut menempati areal seluas 500 m x
150 m, dengan
luas bangunan keseluruhan , panjang 75 m
,lebar 40 m, dan tinggi 10 m.
Pembangunan perkeretaapian di wilayah Banyumas sudah mulai dirintis sejak
tahun 1881, tetapi pada saat itu jalur kereta api belum melewati
Purwokerto. Secara riil lokasi yang menjadi stasiun raya sekarang
sudah mulai dilalui kereta api sejak
tahun 1892, dimana pada tahun 1892 perusahaan swasta SDS ( Serajoe Dal Stoom
Tram Maaschappi ) membuka jalur Maos
Purwokerto. Pembukaan jalur ini sebagai kelanjutan jalur yang telah dibuka oleh
Pemerintah Hindia Belanda antara Bandung – Jogjakarta melewati Maos dan Kroya melalui perusahaan
Kereta Api SS ( Staat Spoorwegen )
Pada tahun 1915 SDS ( Serajoe Dal Stoom Tram
Maaschappi ) membuka jalur lagi Maos – Cilacap.
Semasa zaman Jepang rel KA SDS sebagian besar dibongkar dan tinggal rel
antara Purwokerto – Wonosobo.
Pada masa perjuangan 1945 – 1949
jalur KA tersebut sangat berperan untuk
transportasi ke daerah perjuangan antara Cilacap, Purbalingga, Wonosobo,
Temanggung, dll.
Pada pertempuran Ambarawa bantuan
pejuang dari sekitar Purwokerto telah memanfaatkan jalur KA tersebut.
5. Masjid Saka Tunggal Cikakak
Masjid Saka Tunggal terletak di desa
Cikakak kecamatan Wangon berjarak 30 Km
arah Barat daya kota Purwokerto. Dinamakan Masjid Saka Tunggal, karena memang
hanya memiliki satu pilar utama penyangga. Disekitar masjid terdapat makam seorang penyebar agam Islam
yang bernama Kyai Mustolih. Berdasarkan
ceritera nara sumber yaitu KGPH
Dipo Kusumo dari Keraton Surakarta Hadiningrat dan Drs. Suwedi Montana , seorang
peneliti Arkeologi Islam dari Puslit Arkenas Jakarta pada tanggal 29 Januari
2002 dijelaskan sebagai berikut :
Sunan Panggung adalah salah seorang
dari kelompok Wali sanga yang merupakan murid
Syech Siti Jenar. Sunan Panggung meninggal pada masa pemerintahan Sultan
Treneggono di Demak Bintoro antara tahun 1546-1548 M. Menurut Serat Cabolek,
Sunan Panggung dihukum dengan cara dibakar atas kesalahannya menentang suatu
syariat. Namun demikian dalam hukumannya tersebut ia tidak mati, bahkan saat
pada saat itu mampu menulis suluk yang
kemudian dikenal dengan sebutan Suluk Malangsumirang.
Sunan Panggung menurunkan anak bernama Pengeran Halas. Pangeran Halas
menurunkan Tumenggung Perampilan. Tumenggung Perampilan menurunkan Kyai
Cikakak. Kyai Cikakak menurunkan Resayuda. Kyai Resayuda menurunkan Ngabehi
Handaraka, dan Ngabehi Handaraka menurunkan Mas Ayu Tejawati, Istri Amangkurat
IV, yang menurunkan Hamengkubuwana, Raja Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kyai Cikakak yang merupakan
keturunan ketiga Sunan Panggung tidak diketahui nama aslinya. Nama “ Kyai
Cikakak “ diperkirakan merupakan sebutan, karena ia bertempat tinggal di Desa
Cikakak. Di Desa inilah Kyai Cikakak mendirikan sebuah masjid dengan keunikan
tersendiri, yaitu dengan tiang utama tunggal ( saka tunggal ) yang masih
lestari hingga saat ini.
Masjid saka Tunggal di bangun di
tempat suci “ Agama Kuno “ (
agama yang berkembang sebelum masuknya agama Hindu Budha ) yang dapat dibuktikan di sekitar masjid terdapat sebuah batu menhir yang merupakan
tempat untuk kegiatan ritual : “ agama kuno “ dibangun pada tahun 1522 M. Di
sekitar tempat ini terdapat hutan pinus dan hutan besar lainnya yang di huni
oleh ratusan ekor kera yang jinak dan bersahabat, seperti di Sangeh Bali.
Saat ini Masjid Saka Tunggal belum kehilangan sama sekali
wajah aslinya. Bedanya, gebyok kayu dan gedek bambu yang semula menjadi dinding
masjid ini telah diganti dengan tembok.
Salah satu tampilan asli masjid ini yang belum hilang
adalah saka tunggal di tengah-tengah bangunan masjid. Saka tunggal tersebut
dibuat dari galih kayu jati berukir motif bunga warna-warni.Di bagian pangkal
berdiameter sekitar 35 sentimeter. Saka ini berdiri hingga di atas wuwungan
yang berbentuk limas, seperti wuwungan pada Masjid Agung Demak. Salah satu
keunikan lain Saka Tunggal adalah keberadaan empat helai sayap dari kayu di
tengah saka. Menurut Sopani sang Juru pelihara Masjid Saka Tunggal tersebut,
empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan ”papat kiblat lima
pancer”, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti
manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang empat. Mata angin itu
berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu banyak air bila tak
ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk angin, jangan terlalu
bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu memuja bumi bila tak
ingin jatuh. ”Hidup itu harus seimbang,” kata Sopani.
Papat kiblat lima pancer ini sama dengan empat nafsu yang
ada dalam manusia. Empat nafsu yang dalam terminologi Islam-Jawa sering dirinci
dengan istilah aluamah, mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu
bertarung dan memengaruhi watak manusia.
Keaslian lain yang masih terpelihara di masjid tersebut
adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar khotbah dan imaman. Ada dua
ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari yang mirip lempeng mandala.
Gambar seperti ini banyak ditemukan pada bangunan-bangunan kuno era Singasari
dan Majapahit.
Selain itu atap dari ijuk berwarna hitam. Atap seperti
ini mengingatkan atap bangunan pura zaman Majapahit atau tempat ibadah umat
Hindu di Bali. Tempat wudlu pun juga masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun
dindingnya sudah diganti dengan tembok.
Keunikan masjid ini juga terasa pada tradisionalisme
keagamaan umat yang beribadah di dalamnya. Setiap akan shalat berjamaah selalu
didahului dengan puji-pujian atau ura-ura yang dilagukan, seperti kidung Jawa.
Beberapa jemaah menggunakan udeng atau ikat kepala biru bermotif batik.
Tata cara shalat jamaah di masjid kuno ini tak jauh
berbeda dengan masjid-masjid lain pada umumnya. Khusus pada jamaah shalat
Jumat, jumlah muazin atau orang yang mengumandangkan azan ada empat. Selain
itu, semua rangkaian shalat Jumat dilakukan berjamaah, mulai dari shalat
tahiyatal masjid, khoblal juma’ah, shalat Jumat, ba’dlal jum’ah, shalat dzuhur,
hingga ba’dal dzuhur. Semua muazin mengenakan baju panjang warna putih dan
udeng atau ikat kepala khas Jawa warna biru bermotif batik.
6. Pabrik Gula Kalibagor
Pabrik Gula
Kalibagor terletak di Dukuh kalibagor,
Desa Kalibagor, Kecamatan Kalibagor , berada di lokasi pinggir jalan raya antara Sokaraja dan
Kalibagor , atau 8 km dari kota Purwokerto.
Pabrik Gula ini dibangun di atas
areal 400 m x 200 m. Sedangkan bangunannya sendiri memiliki luas panjang 150 m,
lebar 100 m, dan tinggi 20 m.
|
|
Foto atas : Suasana sholat Jum’at di Masjid saka Tunggal Cikakak Kec.
Wangon
Foto bawah : Tiang Tunggal pada Masjid Saka Tunggal Cikakak, Kec. Wangon
|
|
Sedangkan
bangunannya sendiri memiliki luas panjang 150 m, lebar 100 m, dan tinggi 20 m.
Pabrik Gula ini
dibangun pada tahun 1839 oleh Edward Cooke Jr, seorang pengusaha
swasta berkebangsaan Belanda, yang
memiliki naluri bisnis tinggi, serta jeli memanfaatkan situasi ekonomi negeri
Belanda yang sedang lemah.
Keberadaan pabrik
gula yang pada saat itu merupakan pabrik gula terbesar di Jawa Tengah sangat
erat terkait dengan penerapan sistem Tanam
Paksa yang dijalankan oleh Pemerintah
Hindia Belanda untuk mengatasi krisis keuangan di negara tersebut pada
awal-awal abad ke-19. Politik / Sistem tanam Paksa mengharuskan rakyat di wilayah jajahan diharuskan menanam
tanaman-tanaman yang bernilai ekspor.
Wilayah Kabupaten
Banyumas, dan sekitarnya dipandang sangat cocok untuk penanaman tanaman tebu,
selain itu transportasi darat dan air dari wilayah ini sangat mudah, sahingga
pembangunan pabrik gula di wilayah Kalibagor
ini tentunya dipandang sangat tepat.
Tuan Edward Cooke
Jr sebagai pendiri pabrik meninggal pada
tahun 1847, dan dimakamkan di komplek pabrik.
7.Klentheng HOK TEK BIO SOKARAJA
Klentheng Hok Tek Bio Sokaraja
terletak di Desa Sokaraja, Kecamatan Sokaraja, tepatnya di
pertigaan jalan raya menuju ke
Purwokerto, ke Banyumas dan menuju ke
arah ke Purbalingga. Bangunan klentheng seluas
1.500 m2 yang didirikan pada masa
Kolonial Belanda ini, menempati lahan seluas 3.000 m2.
Berdasarkan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda untuk pembangunan Klenteng Hok
Tek Bio Sokaraja, tertulis angka tahun 1826, dengan demikian diperkirakan awal
pembangunan klenteng ini dimulai tahun
1826.
Keberadaan sebuah
klenteng senantiasa terkait dengan keberadaan leluhur umat pendukungnya.
Menurut penuturan dari juru kunci secara
turun temurun ( Mini ) , usia leluhur yang ada di kelenteng kemungkinan lebih
tua dari bangunan klenteng itu sendiri . Hal itu dibuktikan dengan keberadaan
kereta jenazah milik kelenteng yang usianya lebih dari 400 tahun.
Walaupun Bangunan klenteng sudah berdiri
sejak awal abad 19 namun bangunan ini mulai digunakan sebagai kelenteng sejak
tahun 1960 seiring dengan dimasukkannya Kiem Sien (patung leluhur) yakni Kongco
Hok Tek Tjeng Sin ke dalam gedung. Sebelumnya, Kiem Sien Kongco Hok Tek Tjeng
Sin berpindah dari rumah ke rumah. Setelah Kiem Sien Kongco Hok Tek Tjeng Sin,
masuk pula Kiem Sien Dewi Kwan Im..
Ada salah satu
keunikan dalam klentheng ini , yaitu
terdapat sebuah bangunan pendopo yang merupakan ciri khas bangunan Jawa.
Keberadaan pendopo di Kelenteng ini , lantaran ada keterkaitan antara kelenteng
dengan salah satu leluhur Kejawen (masyarakat Banyumas) yakni "Mbah
Kuncung" yang merupakan leluhur masyarakat
Banyumas.
Sebagai bentuk penghormatan kepada
Mbah Kuncung, pengurus kelenteng sepakat menempatkan altar leluhur Kejawen
tersebut dalam satu ruangan bersama dengan altar Sang Buddha, Nabi Khonghucu,
Maha Dewa Tay San Lauw Cin, dan Dewi Kwan Im.
Pada bagian depan bangunan
terdapat sebuah gapura yang menghadap ke barat dan di halaman kelenteng ada
sebuah altar "Tuhan Allah" dan penghormatan kepada "Ibu
Pertiwi". Bangunan berikutnya berupa kelenteng
dengan pendopo yang dimanfaatkan para umat atau peziarah sebagai ruang tunggu
sebelum melakukan ritual sembahyang.
Bagian tengah
kelenteng digunakan sebagai tempat leluhur tuan rumah dan altar Dewa Harimau
(Hu Sen) serta altar Dewa Liong (Lung Sen).
Di tempat itu juga terdapat altar Dewa Hok Sien Hun (kebahagiaan), Dewa Lauw
Sien Hun (rezeki), dan Dewa Siu Sien Hun (panjang umur) serta altar Dewa
Peperangan atau Dewa Keadilan (Dewa Kwan Sien Tek Kun atau Kwan Kong).
Pada ruangan paling dalam atau ruang Sam Kauw (Tri Dharma) terdapat altar Tri
Dharma (tiga nabi agung) yakni Sang Buddha, Nabi Khonghucu, dan Maha Dewa Tay
San Lauw Cin dari aliran Tao (Taoisme). Altar Tri Dharma ini terletak di bagian
tengah.
Sebelah kanan altar Tri Dharma terdapat altar Dewi Kwan Im (welas asih atau
kebijaksanaan) dan sebelah kirinya terdapat altar Mbah Kuncung (para suci
Kejawen).
8.Komplek Dalem Kadipaten ( Komplek Pendopo Duplikat Si
Panji Banyumas )
Kompleks Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji)
Banyumas merupakan bangunan peninggalan Kadipaten Banyumas sebelum dipindah ke
Purwokerto oleh Bupati Banyumas Martadireja II pada tanggal 7 Januari 1937.
Komplek Dalem Kadipaten
Banyumas ini dibangun tahun 1706 oleh
Kiai Adipati Yudonegoro II Bupati Banyumas ke 7.
Sebelum lokasi Kadipaten Banyumas
berada di tempat ini, Pusat pemerintahan Kadipaten Banyumas sejak Adipati I ( Joko Kaiman tahun 1582 ) sampai Adipati Banyumas ke-6
terletak di Desa Kejawar , kurang lebih
5 kilometer dari tempat ini.
Sebagai lokus
bekas Kadipaten, Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas telah
menjadi salah satu artefak sekaligus landmark (tetenger) dari perjalanan
panjang sejarah Kadipaten Banyumas yang pertama kali dibangun oleh Joko Kaiman
yang bergelar Kanjeng Adipati Warga Utama II (Adipati Mrapat).
Kondisi eksisting Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas mulai
dari alun-alun, pintu gerbang, pendopo, longkangan, dalem ageng, griya ageng,
boga sasana, senthong kiwa, senthong tengen, bale peni, bale warni hingga
tamansari, selain hadir sebagai artefak sejarah, juga memiliki kedalaman
filosofi yang didasarkan pada ajaran Jawa. Dari sisi arsitektur, bangunan Dalem
Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas merupakan perpaduan yang sangat
kental antara arsitektur tradisional Jawa dan arsitektur kolonial Belanda.
Dari sisi filosofis, Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji) Banyumas
mengandung ajaran kosmologi Jawa tentang keblat papat lima pancer (empat arah
mata angin dan titik pusat imaginer yang berada di tengah-tengah). Bangunan
pendopo dikelilingi empat pintu gerbang utama. Gerbang pada sisi timur dan
barat searah dengan terbit dan tenggelamnya matahari yang menjadi simbolisasi
dari purwa, madya dan wasana yang menggambarkan kehidupan manusia di dunia dari
yang semula tidak ada, menjadi ada, dan pada saatnya akan kembali tidak ada.
Sedangkan gerbang pada sisi selatan dan utara searah dengan laut selatan dan
gunung Slamet, menggambarkan arah privasi (dalem Kadipaten) ke arah publik
(masyarakat). Oleh karena itu di arah depan pendopo terdapat alun-alun yang di
sisi kanannya terdapat masjid (menggambarkan sisi kebaikan) dan di sisi kirinya
terdapat penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (menggambarkan sisi buruk).
Fakta demikian membuktikan bahwa Dalem Kadipaten (Pendopo Duplikat Si Panji)
Banyumas memiliki kedalaman nilai historis bagi masyarakat Banyumas secara
keseluruhan. Dalam konteks perjalanan sejarah kebudayaan, nilai-nilai historis
semacam ini menjadi bagian integral kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Ia
menjadi spirit, kekuatan sekaligus motivasi bagi kehidupan pribadi dan
kehidupan kolektif.
9. Monumen Panglima Besar Jenderal Soedirman
Monumen yang terletak di pinggir
Sungai Logawa Kecamatan Karanglewas , kurang lebih 4 km dari kota Purwokerto
ini dibangun untuk mengenang perjuangan Jenderal Soedirman di Kabupaten
Banyumas, khususnya Purwokerto. Berkat
keahlian strategi dan kepandaian dalam
bernegosiasi dengan penjajah Jepang maka
pengambilalihan kekuasanan dari penjajah Jepang kepada para pejuang di
Kabupaten Banyumas berjalan tanpa pertumpahan
darah. Peristiwa tersebut terjadi
pada tanggal 15 Oktober 1945 bertempat di Markas Komando Kesatuan Pertahanan
Jawa Tengah di Magelang.
Kiprah perjuangan Soedirman di Kabupaten Banyumas sudah dimulai sejak pemerintah mulai merintis terbentuknya ketentaraan negara
di Republik Indonesia yang baru berdiri. Pada tanggal 1 s.d
3 September 1945 para bekas perwira PETA, Heiho, Seinendan, KNIL di
Kabupaten Banyumas bertemu untuk membicarakan perihal pembentukan Badan
Keamanan Rakyat ( BKR ) Banyumas. Pertemuan tersebut diadakan di gedung
Yosodarmo di jalan Yosodarmo Purwokerto, dan dipimpin langsung oleh Soedirman.
Setelah BKR terbentuk dan Soedirman terpilih sebagai pimpinan umumnya,
mereka bermarkas di gedung Landraat yang terletak di sebelah timur alun-alun Purwokerto.
Belum lama setelah BKR Kabupaten Banyumas terbentuk , pada tanggal 5
Oktober 1945 Pemerintah Pusat mengeluarkan Dekrit tentang pembentukan Tentara
Keamanan Rakyat ( TKR ) , maka para anggota BKR pun mentransformasikan diri
menjadi anggota TKR dengan nama kesatuan yang baru yaitu Divisi V TKR dengan
komandan Kolonel Soedirman.
10. Monumen Palagan Bondoyudo
Monumen yang dibangun tahun 1977 dan
terletak di Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, serta berbentuk tugu yang terdiri dari 3 bagian, yakni bagian alas, tubuh dan puncak ini, dibangun untuk mengenang peristiwa
pertempuran antara penjajah Belanda
dengan para pejuang Republik Indonesia dari Kompi Priyadi yang terjadi pada tahun
1949.
Setelah kemerdekaan Indonesia
dikumandangkan tanggal 17 Agustus 1945, rupanya penjajah Belanda
berkeinginan untuk menguasai kembali Indonesia. Tentu saja hal tersebut
mendapat perlawanan dari
rakyat Indonesia.
Masyarakat
Gununglurah dan sekitarnya yang
dipelopori Kompi Priyadi dengan semangat heroik bahu membahu bertempur melawan penjajah Belanda dan
berhasil mengusirnya dari kawasan tersebut.
11. Pendopo Si
Panji Saksi Pengumuman Kemerdekaan
Dengan khidmat
Bung Karno membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia , pada tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00 wib dan disiarkan
langsung oleh RRI pusat Jakarta. Tetapi momen bersejarah tersebut gaungnya tidak sampai ke seluruh pelosok tanah air, termasuk di
Kabupaten Banyumas. Hal demikian sangat bisa dimaklumi karena meskipun
Indonesia sudah merdeka, kekuatan Jepang di Indonesia waktu itu masih nyata.
Baru setelah Soedirman
berhasil mengadakan perundingan dengan pihak Jepang untuk pengambilalihan kekuasaan, maka para pemimpin
di Kabupaten Banyumas merencanakan untuk mengadakan pengumuman bahwa Indonesia sudah merdeka.
Pengumuman yang digagas
oleh Residen Banyumas Mr. Iskak Tjokrohadisoerjo baru dilaksanakan pada hari
Minggu, 30 September 1945 di Pendopo Kabupaten Banyumas Purwokerto.
Pagi harinya,
yaitu Senin, 1 Oktober 1945, Soedirman menggerakkan demonstrasi dan pawai
bersenjata bambu runcing di kota-kota di daerah Banyumas sebagai
dukungan kepada
Pemerintah Daerah. Sejak saat itu seluruh kantor-kantor yang ada di Kabupaten
Banyumas diambil alih oleh para putra daerah sendiri. Dan sejak saat itu pula
masyarakat Banyumas mengetahui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebenarnya sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945.
12. Masjid Nur Sulaiman
Masjid Nur Sulaiman Banyumas dibangun
tahun 1755 pada masa pemerintahan Adipati Banyumas Yoedanegara II dan
diarsiteki oleh Bapak Nur Daiman
Demang Gumelem I sekaligus sebagai
Penghulu Masjid yang pertama. Sebagaimana konsep tata letak bangunan pada masa
pemerintahan kerajaan di Jawa, posisi masjid selalu berada di sebelah barat
alun-alun sebagai simbol kebaikan, berseberangan dengan letak penjara sebagai
symbol kejahatan di sebelah timur alun-alun .
Secara administrasi Masjid ini
berada dalam wilayah Desa Sudagaran, Kecamatan Banyumas kurang lebih 25 km
dari kota Purwokerto.
Karena tidak adanya sumber tertulis
yang pasti, menurut penuturan juru Pelihara Benda Cagar Budaya Masjid Nur
Sulaiman bapak Djoni M. Faried, nama Nur Sulaiman berasal dari nama Nur Daiman.
Masjid Nur Sulaiman di bangun di
atas tanah seluas
4.950 m2,
Ruang utama: 22 x 15.5 m , Tinggi bangunan : 14.5 m, Ruang serambi: 11 x
22 m , Ruang mihrab: 4 x 2.2 m,
tinggi 5.9 m. Mimbar:
2.2 x 1.2m duwure 1.67 m. Maksura:
2.3 x 2.3 m
Masjid Nur Sulaiman memiliki ciri khusus dan keunikan
antara lain ;
·
Denah
bujur sangkar
·
Ada serambi
·
Batur
tinggi
·
Pintu
utama di sebelah timur
·
Mimbar berbentuk
tandu
·
Terdapat Maksura (
tempat Shalat khusus penguasa)
·
Mihrab (ruang imam) ialah tajug susun 2 dilengkapi
mahkota berbentuk mirip gada.
·
4
pilar utama (saka guru)
·
12
pilar pendukung (saka pengarak)
|
|
|
|
|
|
|
Masjid Nur
Sulaiman sebelah barat alun-alun
Banyumas
|
|
13. SMA Negeri
II Purwokerto
Gedung SMA
II Purwokerto terletak di jantung kota
Purwokerto , di tempat yang sangat strategis , tepatnya di Jalan Gatot Soebroto
Purwokerto, dan masuk dalam wilayah
Kelurahan Sokanegara , Kecamatan Purwokerto Timur.
Gedung bersejarah
yang dibangun di areal seluas 30.000
m2 dengan luas bangunan panjang 100 m ,
lebar 10 m dan tinggi 8 m ini, dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1929, yang memang diperuntukkan bagi
sekolah Kweekscool / Normal School, dan
dipergunakan sampai diambil alihnya
pemerintahan Hindia Belanda oleh
penjajah Jepang Tahun 1942.
Oleh
penjajah Jepang Kweekschool dibubarkan
dan gedungnya dipakai sebagaii asrama Ken Pe Tai ( Polisi Militer Jepang ). Setelah
Jepang kalah Belanda berupaya masuk kembali ke Indonesia tahun 1947 dan gedung
ini digunakan sebagai markas tentara
Belanda hingga tahun 1949. Setelah
Belanda kalah dan harus meninggalkan Indonesia tahun 1949, bekas asrama Belanda
ini dipergunakan sebagai asrama tentara
Bataliyon Rajawali.
Dan ketika Gatot Subroto menjabat sebagai
komandan Divisi di Jawa Tengah
tahun 1950 , fungsi gedung dikembalikan
seperti semula yaitu sebagai gedung sekolah.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pendopo Si Panji Purwokerto
|
|
14. Masjid Saka Tunggal Legok Pekuncen
Masjid saka tunggal yang dinamakan Masjid Darussalam ini, terletak di Dusun Legok, Desa Pekuncen,
Kecamatan Pekuncen, kurang lebih 40 km
dari kota Purwokerto. Untuk mencapai lokasi ini tidak terlalu sulit,
karena posisi masjid berada di tepi jalan raya
dan sangat strategis berdekatan
dengan stasiun Legok.
Masjid Saka Tunggal Darussalam didirikan pada tahun 1915 M atas prakarsa
Bupati Purwokerto, yaitu Raden Mas Tumenggung Cokronegoro III, yang
memerintah Kabupaten Purwokerto pada
tahun 1905 -1920 . Hal ini dapat diketahui dari prasasti yang menempel pada
dinding masjid yang bertuliskan huruf arab berbahasa jawa yang berbunyi
” 6 Syuro 1846; 17-11-1915; 1334 Hijroh, Legok Kranggan Ajibarang. Yasa
dalem Kanjeng Bendoro Rahaden Mas
Tumenggung Aryo Cokronegoro ingkang jumeneng Hadipati ing Nagari Purwokero
Banyumas, Pengulu Hakim Muhammad Hadirejo, serta Landrat Purwokerto”
Apabila kita hitung , maka sejak 17 November 1915 sampai tanggal 7 September 2009 sudah berusia
33805 hari. Kita hitung mundur dibagi 7 akan sisa 2. Tanggal 7 September 2009
jatuh hari Senin Pon, maka tanggal 17 November 1915 jatuh hari Sabtu Manis.
Berdasarkan catatan sejarah , bahwa pada tahun 1831 s.d 1936 wilayah Banyumas terdiri dari 2 (
dua ) kabupaten, yaitu Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Purwokerto. Pada tahun
1905-1920 Bupati Purwokerto dijabat oleh RMT Cokronegoro III. Pada masa
pemerintahan beliau, dibangunlah jalur kereta api antara Kroya – Cirebon yang
melalui kota Purwokerto, dan salah satunya stasiun Legok. Pada waktu itu belum
ada wilayah pekuncen, adanya wilayah
Ajibarang, dengan perwakilannya di daerah Kranggan. Karena sarana
transportasi pemerintahan saat itu menggunakan jalur kereta api, maka stasiun
Legok dikenal sebagai Legok Kranggan. Padahal kenyataan sekarang
Kranggan merupakan desa tersendiri, dan Legok termasuk dalam wilayah Desa
Pekuncen. Di masa pembangunan stasiun itulah, RMT Cokronegoro mempunyai
inisiatif untuk membangun sebuah masjid di komplek stasiun Legok yang terbuat
dari beton , dan hanya memiliki satu tiang penyangga utama ( Saka Tunggal ).
Pada tahun 1968 oleh pengelola
masjid Bapak Muchdjaeri , masjid Saka
Tunggal ini diberi nama Masjid Darussalam.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Masjid Saka
Tunggal Darussalam, Legok, Kecamatan
Pekuncen
|
|
Masjid ini dibangun di atas tanah seluas 20 m x 13 m , dengan tinggi
bangunan 3,25 m, dan berbentuk segi 8 ( delapan ), terdiri 5 sisi di bagian
serambidepan dan 3 sisi bangunan utama masjid. Tiang penyangga utama adalah sebuah tiang beton ( adukan terbuat
dari semen, kapur, pasir, semenmerah dan batu kali ) Tinag penyangg yang hanya
satu dan berbentuk segi delapan ini disebut saka tunggal, yang mempunyai makna
adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan bentuk segi 8 menandakan arah mata angin
yang secara filosofis mengandung
makna bahwa Masjid Saka Tunggal ini
sebagai tempat syiar Islam dapat tumbuh
dan berkembang ke segala arah. Serambi bersudut 5 menandakan rukun Islam yang
5. Sedangkan sisi tembok 3 dinding melambangkan 3 kerukunan umat beragama, yaitu hubungan
manusia dengan Allah swt, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia
dengan lingkungan alam. Pintu serambi depan terdiri 3 pintu yang menandakan 3
amalan yang tetap dialirkan pahalanya oleh Allah swt yaitu amal jariyah, ilmu
yang bermanfaat, dan doa anak sholeh.
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Saka Tunggal
pada Masjid Darussalam Legok , Pekuncen
|
|
|
|
|