Sabtu, 05 Mei 2012

MAKNA TRADISI SURAN


MAKNA DAN TRADISI SURAN
Bagi orang  Jawa , momentum menghadapi tahun baru Sura ( Muharam ) ternyata dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan melakukan banyak kegiatan yang bernuansa tradisi ( diturunkan dari generasi ke generasi ), dalam upaya pendekatan spiritual kepada yang Maha Kuasa, seperti melakukan tirakatan-tirakatan atau lakon-lakon (merujuk klasifikasi Clifford Geertz bahwa di masyarakat Jawa terklasifikasi menjadi kaum santri, priyayi dan abangan).
Tirakatan dan lakon-lakon yang dilakukan,  misalnya lakon ngumbah keris (perilaku mencuci keris), lakon ngumbah pusaka (mencuci pusaka), lakon ngumbah aqik (mencuci batu permata), lakon tapa (bertapa/bersemedi), lakon kungkum (merendam di dalam air), memulai tirakat poso dalail (puasa satu tahun penuh kecuali hari raya dan hari tasyrik), lakon membuat rajah (sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan), dan masih banyak lagi lakon-lakon atau tirakatan-tirakatan yang lain.
Istilah Sura

Sura merupakan nama bulan pertama dalam kalender Jawa yang sekarang berprinsip asapon ( Alip Selasa Pon ) tidak aboge ( Alip Rebo Wage ) . Kalender Jawa tersebut (yang disebut juga kalender Saka) asal muasalnya merupakan kalender Jawa Hindu yang berdasarkan pada peredaran matahari (kalender Syamsiyah).
Namun sejak 1043 H/1633 M ketepatan tahun 1555 tahun Soko, oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma diassimilasikan berdasarkan peredaran bulan (menjadi kalender Qomariyah). Selanjutnya menjadi Kalender Jawa Islam. (Baca Alfred A Knopt, h. 282- 284). Sehingga muncul impression identifikasi dalam kalender Islam murni (kalender hijriyyah).
Istilah bulan Sura dalam kalender Jawa (bulan Muharam dalam istilah kalender Hijriyah) kalau dilacak itupun berasal dari istilah Islam.
Istilah Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharam. Di mana pada tanggal 10 Muharram tersebut terdapat banyak mitos yang terkait banyak dengan kemukjizatan para nabi- nabi.
Berharap tradisi Sura
Merujuk pada banyak mitos sura tersebut, kiranya tidaklah berlebihan manakala di awal tahun baru Hijriyyah (1429 H sekarang ini) kita jadikan momentum muhasabah dengan melakukan tirakatan-tirakatan untuk mendapatkan berkah Syuronya.
Apa yang perlu kita muhasabahi atau kita intropeksi? Jika kita merujuk pada pesan cerita kaum Saba yang selaras dengan pernyataan Alexis Carrel, kiranya muhasabah kadar keimanan kita kiranya yang perlu kita dahulukan. Sehingga dengan prinsip ”memulailah dari diri kita sendiri” kiranya perlu kita pertanyakan pada diri kita: Sudah tidak zalimkah kita kepada Allah? Sudah tidak zalimkah kita pada diri sendiri? Sudah tidak zalimkah kita pada sesama kita? Sudah tidak zalimkah kita pada lingkungan sekitar kita?


SINOPSIS CALENGSAI ( CALUNG LENGGER BARONGSAY )



CALUNG LENGGER BARONGSAI
( CALENGSAI )

“ B A L I M A S “


 














DIPENTASKAN DALAM ACARA
MUSDA VIII HIMPUNAN PRAMUWISATA INDONESIA (HPI)
PROVINSI BALI DI INNA GRAND BALI BEACH HOTEL
TANGGAL 26 OKTOBER 2011



PEMERINTAH KABUPATEN BANYUMAS
DINAS PEMUDA OLAHRAGA KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
2011
sangat  penting untuk mewujudkan perdamaian dalam hidup. Sehingga tercapai hidup yang gemah ripah loh jinawi, tentrem karto raharjo, kalis ing sambekala.

Keberadaan Barongsai pada jaman dahulu (menurut Gotek) merupakan suatu sarana untuk mengusir hama yang menyerang tanaman warga. Dengan membuat ular-ularan, singa-singaan, warga berusaha mengusir hama yang menyerang tanaman mereka dan akhirnya berhasil dan dikenal sebagai salah satu seni Tionghoa yang termashur.

Sajian ini menggambarkan suasana hati para penari yang merasakan betapa kerasnya hidup di perantauan dan di tengah kegelisahan rindu kampung halaman. Terjadi situasi yang sangat dilematis karena satu sisi ingin pulang ke kampung halaman, tapi di sisi lain masih harus berjuang untuk menyelesaikan suatu tanggung jawab. Permohonan doa, sebagai penggambaran wujud syukur kepada Tuhan. Dalam doa meminta diberikan kesempatan untuk bisa kembali ke kampung halaman.

Begitu besar rasa rindunya pada kampung halaman membuat penari seolah-olah sudah berada di kampung halaman. Begitu gembiranya bertemu dengan rekan sejawat, bermain, menari-nari, dan bercanda dengan warga keturunan Tionghoa dengan memainkan Barongsai. Pada bagian ini menggambarkan betapa besar cinta, rindu kepada kampung halaman yang telah lama ditinggalkan untuk merantau jauh dari sanak saudara.  Dengan keteguhan hati, membulatkan tekad untuk  “Bali Banyumas  mBangun Banyumas” agar Banyumas menjadi sinaring tanah jawa dan masyarakatnya menjadi temata, temua dan rumangsa.

SELESAI
____________________________________

PENDAHULUAN


Kabupaten Banyumas memiliki berbagai macam dan bentuk kesenian tradisional salah satunya adalah seni tradisional Calung dan Lengger. Sebagai salah satu upaya menggali, melestarikan, dan mengembangkan kesenian tradisional Calung, Pemerintah Kabupaten Banyumas dalam hal ini Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyumas mementaskan Calengsai yang merupakan kolaborasi  Kesenian Tradisional Calung, Lengger yang dipadukan dengan Barongsai pada acara MUSDA VIII Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Provinsi Bali di INNA GRAND BALI BEACH HOTEL pada  tanggal 26 Oktober 2011.

Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya pementasan ini.

Harapan kami, semoga pementasan ini mampu memberikan suatu wacana kesenian baru yang tidak menutup kemungkinan bagi kesenian lain untuk berkolaborasi sehingga tercipta bentuk baru dengan tidak meninggalkan bentuk asli.

Akhir kata selamat menyaksikan dan semoga berkenan. Terima kasih.


Purwokerto, 22 Oktober 2011
KEPALA DINAS PEMUDA, OLAHRAGA,
KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
KABUPATEN BANYUMAS




DWI PINDARTO, S.H., M.Hum.
Pembina Tingkat I
NIP. 19610910 199103 1 005



TIM TEKNIS


Pelindung :
Bupati Banyumas
Drs. H. Mardjoko, M.M.


Penasehat :
Kepala Dinas Pemuda Olahraga
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banyumas
Dwi Pindarto, S.H., M.Hum.


Ketua Tim :
Drs. Saptono Supriyanto
Kabid Kebudayaan Dinporabudpar Kab. Banyumas




Wakil Ketua :
Kasirun, S.Pd.
Kasi Nisasfil Dinporabudpar Kab. Banyumas


Sekretaris :
Drs. Edy Suswanto
Kasi Nitrahkala Dinporabudpar


Bendahara :
Sri Wigati


Dokumentasi :
Suyudi


 CALUNG LENGGER BARONGSAI
( CALENGSAI)
“ B A L I M A S “


Kesenian Kolaborasi Calengsai ini merupakan ide / gagasan dan ciptaan dari Bapak Bupati Banyumas Drs. H. Mardjoko, MM pada Tahun 2009, sebagai upaya untuk menyatukan semua kalangan masyarakat serta memberikan kesempatan kepada semua bentuk kesenian yang tumbuh dan berkembang di Banyumas termasuk kesenian Barongsai. Dengan harapan mampu memperkaya khasanah budaya Banyumas.

Balimas adalah sebuah idiom / ungkapan yang bisa diartikan sebagai Bali – Banyumas, Kembali ke Banyumas. Kekayaan garap dan keberagaman vokabuler  yang ada di Banyumas menjadikan banyak pilihan dalam penggarapan karya ini. Dengan tidak meninggalkan identitas Banyumas yakni Calung dan Lengger, karya ini diharapkan mampu memberikan suatu nuansa baru dalam ranah kesenian Banyumasan.

Karya ini menyuguhkan suatu sajian gerak Bali dan Banyumas yang dipadukan dengan iringan Gamelan Ageng dan Calung Banyumasan. Dengan penggambaran suasana dan iringan yang disesuaikan dengan gerak tari serta karakter gerak tari.

Gamelan Ageng mewakili ranah budaya yang adi luhung, sedangkan calung mewakili ranah budaya yang egaliter dan merakyat. Dengan harapan bahwa penggabungan antara keduanya bisa mewujudkan suatu sajian adi luhung yang egaliter, tentunya dengan tidak meninggalkan kesan ke-adi luhung-an yang sudah terbentuk.

Barongsai mewakili ranah budaya Tionghoa yang sudah sangat dikenal. Perpaduan antara Calung, Lengger dan Barongsai mengandung maksud bahwa antara budaya Tionghoa dan budaya Banyumas bisa berdampingan secara damai dan bisa menjadi suatu contoh   bagi   kita  semua   bahwa   persaudaraan   adalah   hal   yang  

Properti :
Sudaryanto, BSc.
Kasi Sarpras Dinporabudpar Kab. Banyumas
Sukoco

Rias Kostum :
Endang Setyaningsih, S.Pd., S.Sn., M.Pd.
Ida Sulistyorini, S.Pd.

Penyusun Tari :
Kustiyah

Penyusun Iringan :
Didik Himawan DH, S.Sn.


Pendukung :
Carlan, S.Sn., Ciwan, Sutarno, Endang Sariyah, Sadikin,
Kuat Waluyo, S.Sn., Rumpoko Setyo Aji, S.Sn., Hadi Warsito, Sarkum, Odha Wigaringtyas, Kinanthi Wirama S, Heka Swasty Rarassati, Stefani Ria Juliana, Andresa, Christia Aphrodita Karina Gunawan, Elisabet Ratna Setyani Saputra, Mantep, Handono, Johan, Indra Buang, Windi, Aji, Cipling, Anjar, Agus, Supri.


Produksi :
DINAS PEMUDA OLAHRAGA
KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
KABUPATEN BANYUMAS
2011




CERITA COWONGAN


NGUDANG WIDADARI NURUNAKEN UDAN

Oleh Kahudi

Sisih kulon layunge mencorong abang semu kuning, kuning semu abang. Mblerengi sesawangan. Tembung jere, angger ana layung, kudu gawe pedhiang geni oman. Merga ngger ora gawe pedhiang bisa maraih beleken. Senajan kur tembung jere, ningen bola-bali kedadian ngger mangsan layung, akeh wong padha beleken. Matane padha abang rebes kaya matane kaki semar. Jere.

Wektu semono Nini Randha Dhadhapan njagong ngethepes karo nginang leweh-leweh nang batur umahe sing mung ceblokan saka papat karo nyawang geni pedhiang sing mongah-mongah. Kukuse ubleng mendhuwur kaya rebutan gutul nglangit banjur ilang kebuncang angin sore sing semilir gawe kekesing ati. Pikirane Nini Randha kayong suwung. Sawah secliwik sing dinggo gantungan urip wis garing clengkring, nela go umah jangkrik. Suwening suwe kewetu nyebawa, “O alah Gusti, Gusti, deneng kaniaya temen urip inyong. Ngrengga awak segluntung bae rekasa”.

Ningen Nini Randha banjur mikir lewih jero, “Iya, inyong urip dhewek, ora ngrengga kluarga. Lha kae, Kaki Setra, Kaki Naya, Si Dhadhap, Si Waru, sing anake padha pathing kreyik esih cilik-cilik. Jajal, padha mangan apa, marah.” Nini Randha Dhadhapan nglenggana. Mbok menawa wis dadi garising pepesthen. Urip kudu dilakoni. Menungsa nang alam dunya lir wayang saumpamane. Kur gari manut karo si dhalang. Abang birune uriping menungsa nang astane Gusti Sing Kwasa.

Embuh sekang endi parane, ujug-ujug ana prebawa sing manjing maring raga wadhage Nini Randha. Ora tau-tau kaya kempi-kempi tekane widadari sing mung ana nang dongeng. Kaya ngapa saumpama ana widadari sing ngancani uripe. Nyekseni urip sing kelunta-lunta. Nyekseni impen-impen endah sing mung kandheg sajroning turu. Nyekseni pati sajroning urip, urip sajroning pati. “O, alah, Gusti, nyong kepengin urip dikubengi widadari sing ayu moblong-moblong. Lunga teka mawa dalan ngkuwung sing ngganther mlengkung.”

Nini Randha njur gregah menyat, keplas, mlayu maring pedangan njukut irus. Enjet nang wadhah kinang werna putih memplak, didulit, njur dioles-olesna nang bathok irus, digawe kaya raining menungsa. Setleraman mripate weruh ana oman nang ndhuwur para, banjur dijikot. Olih njikot, sikile dijinjitna, ning ya tetep ora gutul. Njur dilanjak-lanjak ping kopang-kaping. Sikile sing ireng belok-lepot ketutupan tapih pinjung katon trengginas. Kaya sikil kidang sing lagi pencolotan nang ara-ara amba andum kabagyan. Oman segebung wis kena diranggeh, terus dilolori nyiji-nyiji, dianam dadi rambut, dadi klambi, dadi tapih. Irus sing maune mung bedhama kanggo olah-olah, siki jebles kaya wujuding wadon.

Bola-bali disawang. Lambene sing nyonyor merga nyusur mencas-mencos kayong agi ngomong sing ora kewetu. Kaya ana kekarepan sing urung kesembadan. Praupan bombong dadi keton suntrut. Ujug-ujug rerupan wadon sing digawe sekang irus mau digawa metu nglatar dibalangna maring lebuh. Nini Randha bali njugug kaya watu nang eper umah sing mung payon welit kuwe.

Nang sisih lor katon umahe Nini Sinah. Lawange sing nang ngingsor pompok katon dibukak. Ana ayam agi padha gandhik nang ngarep lawang. Jago sing katon gagah pideksa nucuk ndhas, munggah gegere ayam wadon. Nyipati garising pepesthen nerusna keturunan.

Nini Randha mesem. Kelingan rasa sing tau dianam bareng karo Kaki Kastari, guru lakine sing siki wis dipundhut Sing Kwasa. Ayam skloron wis padha saba dhewek-dhewek, ning pikirane Nini Randha esih nggladrah maring jaman ngkuna sing wektu saiki ora bakal klakon maning. Dheweke rumangsa dadi widadari sing ayune tumpuk-undhung. “Inyong sipat widadari. Tumurun sekang kahyangan nunggang ngkuwung adus nang sendhang.”

Impen tekane widadari banjur teka maning. Nyawang langit, kaya ana widadari sing mabur tanpa lar. Mripate diucek-ucek kanggo ngilangna wewayangan sing kaya kasunyatan. Setleraman nyawang ngalor kaya ana widadari nang pucuk gunung Slamet sing kemul mega. Semena uga nang sisih wetan, nang lengkehing gunung Sindoro-Sumbing kaya ana widadari agi padha srimpen. “O, alah Gusti. Ngalamat apa kabeh kedadiyan kiye. Apa bener widadari ana nyatane, apa mung dongeng sedurunge mapan turu?”

Nini Randha banjur anut keteging batin. Sikile tumapak, mlaku ngener maring umahe Nini Sinah. Gutul ngarep lawang banjur ngayeg-ayeg, ora ngreti agep ngapa. Cangkeme blangkemen. Mripate mung keyap-keyip nang tengahing sepi sing tanpa sebawa. Sing keprungu mung swarane jago kluruk lan manuk prenjak ngganther-ngganther sesauran. Umah kayong suwung, ningen lawange dibukak. Nini Sinah nang endi anggeren. Agi turu, apa agi bruwun go lawuh nyore.

Nang ontob pager pedangan katon bedhama go olah-olah pathing srelap. Ana soled, ana sorok, irus, lading lan liya-liyane. Pikirane Nini Randha sing maune ngewangwung, ujug-ujug mak gregah kemutan rerupan wadon digawe sekang irus sing dibuang maring lebuh. Batine ngucap, “Lha kiye, ana irus sing cocog digawe rerupan widadari kaya sing diimpi-impi.”

Tumpal tapihe decincingna, banjur mlebu maring pedangan mlaku cingkigan. Tungkake sing belaken dijunjung dhuwur, kedhemek-kedhemek, njukut irus sing semelap nang ontob. Garan irus sing esih ngleni ana lenga campur banyu bat nggo olah-olah, dicekel. Ceg. Banjur didudut. Lerrr... lolor sekang selapan. Gageyan Nini Randha ngetepet bali ngumah. Gutul pedangan, enjet sing nang padon, oman sing ngglethak nang jogan disaut gesit. Sedhela bae rerupan wadon sing nganggo irus wis dadi. Jebles kaya widadari sing nang pangimpen.

Dinane sengsaya sore, wayah surup srengenge. Pitik iwen wis padha ngandhang. Tangga teparo wis padha ngaso. Ningen Nini Randha malah metu ngumah nggawa irus widadarine. Ora kemutan adus, ora kemutan nyore. Irus widadarine tansah digamblong-gamblong kanthi tetembangan:


Sulasih sulanjana kukus menyan ngumdhang dewa
Ana dewa ndaning sukma widadari tumuruna
Runtung-runtung kesanga sing mburi karia lima
Leng-leng guleng, gulenge somakaton
Gelang-gelang nglayoni, nglayoni putria ngungkung

cek incek raga bali rogrog asem kamilaga
reg-regan rog-rogan
reg-regan rog-rogan

Isi tembange Nini Randha Dhadhapan ngemu surasa ngundang tekane widadari. Eloking kahanan, tembang dadi japa. Irus sing asale mung dikudang, kari-kari teyeng obah dhewek. Njungla-njungla kaya dhong agi dikudang. Tangane Nini Randha sing asale ngetokna tenaga ngunggahna karo ngudhunna irus, siki kosok balen, genti digawa munggah mudhun nang irus sing wis kepanjingan widadari. Tembange Nini Randha sengsaya seru tur banter, bareng karo njunglane irus.

Pirang-pirang wengi Nini Randha ngudang irus sing kepanjingan widadari. Nang wengi sing kaping pitu, langit keton ngregemeng ireng. Hawane sing biasane atis njekut, wengi kiye kayong bringsang. Wulan sing padatan kinclong-kinclong padhang, saiki peteng ndhedhet ketutup mendhung. Tembange Nini Randha ora mandheg, malah sengsaya gothot jumbuh karo njungla-njunglane si irus.

Hawa bringsang suwe-suwe malik dadi tremun-tremun grimis. Nini Randha krasa ana grimis ning ngarani mung uyuh kinjeng. Jaragan agi terang klathak. Dheweke lewih nggetem ngudang widadari kasihane. Ora let suwe, grimis sengsaya deres, dadi udan gemrejeg. Lemah dadi teles mili banyu. Gegodhongan keton murub kesorot senthir sing dicanthelna nang anaman pager. Ambune lemah sing mbeke kenang banyu udan arum awangi. Ambu sing banget diimpekna nang kabeh kaum tani.

Werta ngenani Nini Randha unggal wengi ngudang irus sing maraih udan gelis semebar. Presasat kabeh wong kepengin weruh kaya ngapa irus sing kepanjingan widadari mau. Bareng weruh padha semlengeren. Iruse jebul didandani, diperang-perong, dicawang-cowong. Mulane banjur diarani cowongan. Pawongan nang laladan Banyumas precaya menawa ana terang lawas, men gageyan udan padha niru Nini Randha Dhadhapan, gawe cowongan. Widadari sing manjing maring wujud wadhag irus diprecaya nekakna udan sing asale sekang ngkuwung sing go liwat sekang kahyangan mudhun maring alam dunya. CUNTHEL.

BABAD PASIR LUHUR ( SATU VERSI )


Riwajat asal oesul
perdikan Pasir
mendet saking pakem
ingkang kaserat ngangge
aksara arab








                            



                                  S. adisapoetro



































Pasir koelon tgl  6 - 3 – 1946

Poenika tanda tjaritanipoen Kandjeng Pangeran Senopati Mangkoeboemi kala kaselamaken dening Soeltan Demak. Wondening kang ingoetoes anjelamaken, kang djedjeneng =
1. Patih Hedin. 2. Patih Hoesen. 3. Pangeran Makdoemwali. Wondening dedamelipoen, salebak sapacha saking Demak. Sareng dateng Pasir noenten soejoed ki Dipati Pasir. Noenten angendika Patih Hedin, Hoesen lan Pangeran Makdoemwali dateng Kjai Ki Dipati Pasir :,, Sapa sinten djeneng pakenira ?”,, Inggih Banjak Blanak, wondening adi koela poen Banjak Geleh.” Noenten angandika Pangeran Makdoemwali, Patih Hedin lan Hoesen :,, Pakenira arep selam ?” Mangka matoer ki Banjak Blanak :,, Inggih sendika ” Mangka noenten dipoen tjekel astanipoen dening Pangeran Makdoemwali :,, Angoetjapa sira niti Daroesalam” Mangka anoet ing woeroek noenten winaeroek sahadat kalimah kalih, tata sarengat agama Islam. Wong dening Ki Dipati Pasir lan Banjak Geleh sampoen takloek sadaja. Sesampoening sapoenika, lami-lami kondoer Patih Hedin lan Patih Hoesen, wondening Pangeran Makdoemwali kantoen kapertjaja anjelamaken djadjahan Pasir Sesampoening sapoenika








Pangeran Makdoemwali noenten adedepok sak léring pasétran winastan doesoen Ambawanggoela goemantoeng adamel Mesdjid. Noenten njelamaken djadjahan Pasir. Sasampoening alam, mangka gadah pradjandjian Pangeran Makdoemwali dateng Patih Wirakencana anenggih Banyak Galeh ki Dipatih Pasir :,, Jén temen-temen agoeroe ing manira, jen mati woes pinesti bareng saloewang lan pekenira ” Atoeré  Ki Dipatih Pasir,, Inggih dhahir batin boten kedap-kedap ” Sasampoening sapoenika ki Dipati Pasir ketoenggenah anjelamaken  nagara koelon ambaoereksa lampahipoen Pangeran Makdoewali. Wondening kang toenggoe doesoenipoen Pangeran Makdoemwali saoengkoeripoen mangilén, Praboe Hara. Wondening lampahipoen ki Dipati Pasir kalih Pangeran Makdoemwali, winiwit saking Keloentoeng bentas pagadingan, Indradjaja, Batoelaja, Timbanganten, Ukoer, Tjibalunggung, Sareng dateng Tjibalunggung noenten dateng seratipoen Soeltan Banten, Wondening oengeling serta, ,, Jen djengandika sampoen njabrang ngilen lépén Tjitaroem wondening sabrang kilen sampoen slam sadaja dening Soeltan Banten,” Wndening ki Dipati Pasir kandeg lampahipoen, minangka dados wangkid lépén Tjitaroem








Soeltan Demak kalih Soeltan Bante. Sapoenika angsalipoen anjagaring wangwa Ki Dipati Pasir, wondening laminipoen angsal tigang sasi adji wonten ing kilen. Sampuning sapoenika noenten mantoek, marginipun medal Tjirebon,, Gebangbenton, Maroejoeng, andjog Pasirloehoer. Katjarita Ki Dipati Pasir ladjeng dateng Demak, Sareng dateng Demak, katoenggenah malih sanagara wetan, waslanipoen Gegalang, Panaragan, Kadjangan, Pasoeroehan, Embat-embat, Salambitan andjog nagara Pati. Noenten mantoek dateng Demak sasampoening sapoenika wonten tata dalem, ki Dipati Pasir katoenggenah boemi tjatjah 8000 domas, lebak woekire poepoes gemboengé, bambang pengaloen-aloen lan amis batjine, mangoelon sapek Krawang, ngetan Toegoemangkang, ora angoeningani wis tuwa ingsoen maring ki Dipati Pasir alabetjike . Anadene pekenira soen lélér djenengan,, Pangeran Senopati Mangkoeboemi. Moelané adjeneng Pangeran, dene abangsa wali. Moelane Senopati Mangkoeboemi dene angroemati sakatahing nagara,”








Sesampoening sapoenika noenten tinoendoeng mantoek. Wondening pamrentah dalem kala menjang pendak Moeloed. Wondening bebektanipoen katjarita djebug 1000 pikoel, boten wonten padjeg kala sapoenika. Djoemeneng Pangeran Senopati Mangkoeboemi pepoetra ki Dipati Tole. Katjarita Soeltan Demak seda, kagantosan dening paeka kang djedjeneng Pangeran Trenggana” Lami-lami katjarita ki Dipati Pasir gerah. Dereng toemekeng pedjah, dipoen pendem ing kedoeng Welajan. Soeltan Demak midanget werta jen Dipati Pasir gerah Soeltan Demak oetoesan alajad. Kang ingutus kaoem sekawan . Wondening timbalan Dalem,  kaoem-kaoem:,,  Sira Lajaden, Dipati Pasir wartané gerah ikoe olihé si bapa anjelamaken, jen tinemoe mati adjékena, jen tinemoe oerip toenggonana,” Kaoem sekawan noenten loemampah dateng Pasir. Sareng dateng pasir, sowan dateng ki Dipati Tole ladjeng sinapa : Pakenira wong endi ? Matoer kaoem sekawan : Pakenira wong endi ? Matoer kaoem sekawan : Inggih ki Dipati, koela ing Demak kaoetoes dening Goesti koela jen rama djengandika kasilir gerah, Dipoen oetoes anglelajad. Wondening timbalan











dalem kaoem-kaoem:,, sira loengaa lajaden ki Dipati Pasir, wartane gerah. Ikoe olehe sibapa, jen ketemoe mati adjékena maring pakoeboerané, jen tinemoe oerip toenggonana,” Sapoenika timbalan dalem angendika ki Dipati Tolé:,, Ija sira adjekena maring pakoeboeran,” Kaoem sekawan noenten lumampah dateng pakoeboeran. Satengahing wong ngadji, wonten soewara,, Kaoem akoe doedoeken Kaoem ? noenten maladjeng mantoek asoeng oeninga dateng ki Dipati Tole, jen rama djengandika mlakoe dipoen doedoek saking pakoeboeran,” Ki Dipati Tole noenten loemampah dateng pakoeboeran . Sareng dateng pakoeboeran noenten dipoen doedoek , dipoen priksani, sareng dipoen priksani majit pinanggih pedjah. Ki Dipati Tole noenten dedoeka dateng poen kaoem : Kaoem apa saka anggegoroh maring ingsoen ! Botjah tjekelan ikoe si kaoem.” Noenten dipoen tjepeng kaoem sekawan. Wondening kang kaloh dipoen pedjahi, kang kalih malih dipoen pasoeng, dipoen prapat, noenten binekta mantoek dateng dalem. Sareng dateng noenten tinoendoeng mantoek dateng Demak sarta den kekaloengi lajang isining lajang








,, Sira moeliha matoera maring bendaramoe, jen ingsoen ora arep selam, moelih djawa maning”Kapan-kapan teka wong Demak, Kaoem-kaoem noenten mantoek dateng Demak  angatoeri oeninga jen koela katiwasan Abdidalem kekalih kang pedjah. Lajang katoer noenten winatja. Oenining lajang :,, jen manira ara arep ngawoela, moelih Djawa malih.” Soeltan Demak ngandika ki Patih kinen angloeroegi dateng nagari Pasir. Wondening dedamelipoen salebak sapacha. Marginipoen medal pasisir ler andjog Brebes, Sareng dateng Moentjang, oetoesan ki Dipati Brebes angatoeri serat dateng ki Dipati Tole. Oenining lajang :,, Den djero lelaréné, pekenira den kandel koetanira.” Satekane lajang sepi Ki Dipati Tole wonten ing nagara Daha saweg atjengkrama kasoekan babadan raran-raran. Ananaoer kaoel anglubari oedjar jen mati kanjeng rama, doewe oedjar babadan raran-raran. Sesampoening sapoenika oetoesan dening ki Patih Wirakentjana. Angatoeraken priksa seratipoen Soeltan Demak. Sedatenging oetoesan linggar lan pamit mantoek. Sareng dateng Pasir, dandan koeta koebeng angerig djero tengah Pasir tapis wiringe rapih sadina










sawengi. Nounten dateng moesoeh Demak. Dipoen kepoeng angsal sesasi gangsalwelas dina boten bedah. Katjarita djamban kedaton, bendoenganipoen saking Sitoewangi dening moengsoeh noenten dipoen bedah. Geger tijang sakedaton, boten dahar toja. Ki Patih Wirakentjana neneda maring Allah, serekangat salam, noenten néntjebaken tjis ing pasoedjoedan. Sareng dipoen doedoet medal tojanipoen, noenten seger wong kedaton. Katjarita wong kedaton amasoehi iwak nadjis, noenten asal malih tojanipoen. Sesampoening sapoenika ki Patih aremboegan kalih ki Dipati Tole, Aturé kang paman :,, Anak, daweg koela atoeri soedjoed ndika. Boten nangga amoengsoehi wong Demak. Daweg koela atoeri soejoed, koela wedi,gedé wong Demak” Mangka djoewet atoere kang rama. Angandika ki Dipati Tole :,, Paman, andika apa wedi ing wong Demak, apa ndika ora doewé tjetjelék , ora doewé gegobél. ndika wedi ing wong Demak? Kang rama sakit manahé apitoetoer boten kanggé. noenten mantoek dateng dalem pijambak. Noenten anjerat lajang, oenineng lajang : ,, Koela boten toemoet – toemoet  sarengaté ki Tolé. Soemangga ing kersa djengandika.” serat binoetjalaken dateng djawining koeta, katampan dening ki Dipati Tjoeroewah Brebes. Noeten malebet dateng kormaté







Kadipaten, sareng malebet katingalan dening ki Dipati Tole saking papanggungan. Angandika ki Dipati Tole :, Botjah mara delengen ta. Sapa mandalane ?,” Sareng kapriksan inggih jektos wonten oembul-oembul sanes wonten daleme rama djengandika. Angandika ki Dipati Tole,, jen mangkana, ala si paman, blorok atine si paman. Ija aku doewe oedjar wong Pasir tedak pitoe adja ana wong pepatih paman. ”Sesampoening sapoenika katjarita salebetipoen wong Demak priksa :,, Poenapa djengandika ki Patih ? ,,Inggih kapenakan saderek pisan. ”Angendika wong agoeng Demak :,, Pajo, ing wong kepoenge ki Tole, ”Noenten perang sajroning koeroengan. Katjarita kapetengan, kadjineman. Woloengpoeloeh kang kulambi kere gempoer, Ki Binalangkaja, ki Sombro maladjeng. Asoeng oeninga dateng ki Dipati Tole. Noenten bobol sadaya kalanipoen, sabalanipoen medal lawang saketing kaing iring kidoel andjog dateng lepen Logawa. Tinoerout sapengandap andjog dateng Gandoelekor sesampoena sapoenika angendika wong agoeng Demak dateng ki Patih Wirakentjana, angendika :,, Soesoelan anak ndika, ndika tjekelen,, Inggig sandika ”Noenten dipoen soesoel. Perang dateng Gandoelekor katingalan jen kang poetra dereng njabrang sadaya. Ki Patih








Api-api kesoeroeng anarik doewoeng. Kenedak lampahipoen Ki Patih sareng sampoen njabrang sadaja, noenten agadeh atoer-atoer:,, Kadipoendi prijaji lampah-lampahipun Ki Tole sampoen njabrang andjog Gambirsiring, hambeng, hadang, kepoenglo, watoekoera, andjog Bondjok, soenten wangsoel saking gandoeliko. Sareng dateng Pasirloehoer kaloer lampahipoen . Jen Ki Tole sampoen njabrang ngidoel.  Noenten angandika wong agoeng Demak jen manira ora ngoeningani salebak wikoere’ poepoes kaebenge’, bambang  pangaloem-aloeme’ njanjah sodo domas, soen srahaken marang ndika saking galani rakandika radja Namroel. Soen naloreka kenama gengeran senopati Hangkoeboemi djoemeneng  Ki Dipati Pasir. Lami-lami kasdjarisa pinodak  pomahan aboebak-boebak ing pase’tran Pasir Kidoel  Katjariksa amendel wewirinihan Djambe’wangi, Klapawangi. Katjarita Ki Dipati Pasir apoepoetra 30 kang kapendjan 10. Wondining dalemipoen ing Pasir Kidoel. Wondening goeroe kang kadjeng Pangeran Makdoemwali dedepokipoen ing bang ler, wastanipoen doesoen Ambawanggoelagoemantoeng. Sareng sampoen seda Pangeran Makdoemwali, ingaranan Astana kidoel Pasir Kadipaten. Wondening asalama peperdikané







Soelaksan Demak, siweg alamipoen Pangeran Trenggana, kang dados koendji panembahan pagoel, tedak  saking Pangeran Praboaekara sesampoenipun, katjarita lami-lami ki Dipati seda. Angestokaken sadjandjine goeroene. Jen mati bareng saloewang, mila wonten ing asatana Ambawanggoelangemantoeng  Katjarita malih saweg gesang ngipoen Ki Dipasti Pasir gadah poetra 30  ingkar kapencar 10, ingkang dateng Medangagoeng Saketi apepoetra Kyai Gede Soele ingkang dateng Waraejoeng njai Loengge apepoetra Kjai Gede Mingsir  kalih Kjai Bodjong    ingkang dateng goenoeng. Wangi Njai Sabara pepoetra Kjai Gede Biloeng. ingkang dateng Darmawangi Njai Dewi Sangkeoni apepoetra Kjai Gede Gamboeh, kang dateng wira. Saba Njai Sajoela; kang dateng Ajah Njai Gode Paloembangan; kang dateng penjarang njai Kelanjorkoening; kang dateng kawali poetra Djaler kang djedjeneng Mas Tangiri anadene kang anggatosi kadipaten Pasir kang adjedjeneng Pangeran Perlangon. Pangeran Perlangon apepoetra pangeran Langkap. Pangeran Langkap kamantoe dening Panembahan Sesapoe sampoe-








    
ning  sapoeniko katjarita kala alam Pangeran Perlangon, kala alam Padjang gesah ingkang mamah sami dipoen simbali sakalahing para Boepati sedaja amoeng ki Dipati Pasir kang boten loemampah amoeng wakil kiwala wondening dinamel  wakil ingkang djeneng ki Angloengbojong sarta dipoen poelih angoendjoekaken  kampoeh domas  kandjoek dateng soeltan Padjang sesampoening  kondjoek  apriksa dateng  ki angloengbojong; Ora mejang ki Dipati pasir ? Matoere Ki Angloengbajang :,, Inggih Goesti saweg sakit rama djengandika. Wondening oendjoekipoen jen wonten pelamelan, badan  kawoela dadosa wakilipoen Dipati Pasir.” Angendika Soeltan Padjang:,, Apane Ki Dipati Pasir pakenira?’’ Matoer poen Angloengbajang :,, Inggih goesti tijang angabdi.’’ Jen ija wong ngabdi ora soen tarima woes pakenira moeliha, matoera maring ki  Dipati kang soen poendoel anake dadija wakile ki Dipati Pasir ”,  Poen Angloengbajang mantoek rinten daloe sareng dateng Pasir Matoer:,, Jen koela sampoen sampejan oetoes  angoendjoekaken kampoes domas inggih sampoen. Nanging jen sampejan wakil djarat koela, boten kedahar timbalan dalem. Poetra sampe jan kang dipoen pendet dadosa wakil dalem. Se-








sampoening sampoenika angandika Pangeran Perlangon. ,, Prije saikine Angloengbajang, anakoe dewe isih tjilik, doeroeng kelar angembat watang. Jen kaja mangkono préntah dalem, epénten keponakan sing Mendangagoeng poetrane Njai Saketi kekasihipoen ki Gede Soele ; kang saking Haroejoeng salaenggal poetranipoen Njai loengge kekasihipoen Kjai Gede Goemingsir, kang satoenggal malih saking Goenoeng wangi  poetranipun Njai Sabara kekasihipoen Kjai Gede Ambilaoeng kang satunggal malih saking Darmawangi poetranipoen  Njai Dewi Sengkuni  kekasihipoen Kjai Gede Gamboeh. Poenika poetra sekawan sesampoening sapoenika, angandika Pangeran Perlangon  :,, anaking sore sira soen anggo wakile ingsoen. Sadoeloerina lanang masih tjilik. Bésoek wis gede asrahana,’’ Nonten anggendika dateng Angloengbajang:,, Sira atoerna wakil insoen maring Soeltan Padjang.’’ Poen angloengbajang loemampah. Sareng dateng Padjang ingoendjoekaken dateng Soeltan, noenten kadahan saoendjoekipoen ki Dipati Pasir. Sesampoening sapoenika noenten dopoen lampahi negara Pasir déning tijang sekawan. Lami-lami kesanggo seloepatinipoen tijang Pasir, noenten sami gadah oendjoek da-








teng pangeran Perlangon saweg Djoemaeah Wondening onjoekipoen ki Gede Sole;,, Koela noewoen Pangeran ing sampejan Angoendjoekaken sangisipoen poetra-poetra sampejanipoen adi-adi reh anglampahi ajahedalem ing mangke sampoen sae oeloe patinipoen kasangga wondini oendjaehipoen poetra-poetra amoewaon rata-rata angandika pangeran perlangon Tja sira edoemen salagi awake boemi ikoe djadjal 8.000 domas kala alam Demak Padjang bareng alam ki Gede Sari soenten besijad kapantjen 1.300 ; kang 500 soen gadoeaken maring Angloengbajang Anadene kang damos ikoe bebengkoke dewek ya ing djero tengah pasir  anadine kali serojeo maedik andjog sawangan kali klawing. Saking kali klawing moedik andjog kali sogra, saking kali sogra andjog kali Toesoekan saking kali Soesekan  andjog kali Ares, minger angoelon andjog kali djarwana moedik sapendaewoen  andjog Andongkebonmingerangoelan andjog kali wangkon, moedik ana dene andjog pangoelane kaki tadjoem ana dene pangandepe andjog sawangan , ana dene pengeoedike andjog Tjiboengoer ikoe kandang tjadjah damos  ana déné







doekoehé 100 poendjoel 8, mangka dipoen edoem dening Pangeran Perlanggon dipoen prapat. Kyai Gede Goemingsir 25 djero tengah pakenira Tjoekangakar, anadene Kyai Gede Biloeng 25 djero tengah pakenira Kaliradjoet. Amoeng Kyai Gede Soele kadoeman 28 sabab  ikoe den angga wadono, nanging Kyai Gede Bojong djabakena. Ana dene doekoehe Sirenggong lan Sigungsari si Tjukang si Kranggan, ana dene manira amoeng si mandjalima, manira nganggo pagodongan Pameniran lan mantra nggo ambaureksa jimat dalem. Manira arep angabekti moenggoeh maring Allah besoek wis gede sadulurira lanang den remboek poma-poma anadene omah-omah ingkene wong papat kowe ing Pasir kidoel, anadene manira arep anetepi ing pakuncen bareng kalawan Panembahan Pagoet, Noenten jumeneng Ngabei Kodoel, Ngabie Wetan, Ngabei Lor, Ngabei Kulon, kala angarang ing Pasir anadene poen mantjalima kalebet ing doesoen 100 punjul 8. Kang 100 poendjul 3 pinerapat windening tjatjahipun domas, anadene poen pantjalima kajawi saking tjatjah domas ki Gede bojong anjawi saking domas. Wondening domasipoen Tjukangakar 100 toewoehipoen Singasari, Goenoengwangi 100 toewoehipoen Kanje ; Kaliratjoet 100 tuwuhipoen Bonjok


    







     Amoeng gede Soele long tetijang poen Pasir kalih ; poen Tjanggih 100, poen Tamansari lan Kedoengwoeloeh 100 poen Sidabowa, Peliken 100 poen Grengseng, Kedung randoe, Petir 200 dados cacah domas sapoenika kedoek tjekeripoen ki Dipati Pasir kala saweg tigamasipoen. Ana dene ki Anggloeng bajang dados kaliwon ageng, anadene linggihipoen 500. Wondening gangsalatoesipoen negara Djadja 100 Babakan 100 Sindangbarang lan Pegadingan 100 Djamboe, Tinggardjadja 100 ; Kedungwaringin. Lopasir 100 Anadene Bentar, Renggong, Gunungsari, Tjukang, Kranggan kalebet gedonge ki Dipati Pasir, saweg alam 800 domas. Sesampoening sapoenika katjarita ki Dipati Maroedjoeng djengkar saking kedaton anoetoeri sadulure dateng pasir den pernahaken dening Pangeran Perlangon ing doesoen Bodjongsari kekasihipoen kjai Boeloeskinoekoes kalih ki Kalong pengrawit, kala wonten ing Bojong jumeneng kjai Gede Bojong. Sedoeloere kjai Gede Gumingsir, kjai Tjukangakar, kjai Langgong, kjai Gede Bojong aboebalik adedoesoen Adjibarang. Lami-lami katjarita ki Dipati Pasir kersa abebesanan anglamar, sareng dateng Gegerbeas den papag perang, mundoer









     kang anglamar mantoe dateng kjai Dipati, noenten kjai Dipati oetoesan dateng ki Patih kinen amandet poetrane kjai Gede Bojong, mongka putri angitjal dateng goenoeng, milo wanastanan gunung Poetri, kjai Gede Bojong asemu roentik dateng kjai Dipati Pasir mangka, noenten kesah dateng Padjang angabdi anoewoenaken tiyang kapitoebelah mongka noenten Bendeng kalih kjai Pasir angsal tiyang kapitoebelah, mangka ki Angglongbajang silep katumpangan dening ki Gede Bojong ki Angloenbajang amoeng Windunegara, tedak tumedak dateng anak poetoenipoen. Ana dene kapitoebelahipoen Bojongsari 100 tuwuhipoen Adjibarang ; Nagara Djadja 100 tuwuhipoen Windoenegara ; pendjarang 100, Babakan 100 ; Sindangbarang 50 ; Jamboe 50 ; Tinggardjaja 50; Lopasir lan Kedoengwringin 100 ; Tjukang lan Kranggan 50 sesampoening sapoenika katjarita malih kalah ki Dipati Pasir. Sesampoening Mrapat domas Pasir naoenten nganggoer. Kjai ki Dipati Pasir amoeng poen mancalima dados Pagedonganipoen lami-lami kang kekasih Panembahan Langkap tetapa ; Lami-lami kang rama seda ; Panembahan Tetapa lami-lami kang nama lang








     kap mantoek saking pratapan andjog dateng Kartanegara, arabi angsal poetrane ki Demang Kertanegara lami-lami mantuk dateng Pasir, noenten angrabi putrane kjai Koentji kang kadjeneng panembahan Sesapoe. Poen pantjalima kawarisaken dateng kang djedjeneng Panembahan Langkap, ambau reksa djimat dalem. Sapa kengetan Panembahan Langkap jen lampitira ndoeni. Noenten dipoen djaloek lampit dateng kjai Gede Soele. Adi, Lampit kala djaloek, mapan si bapa warise dateng koela ”Ature ki Gede Soele : Alian dalem alinggih kula sagrokan, pangucap kula sakecap, ambekan kula sademik pandjijade rama ndika boten aweh, pandika menika den engge wakile mawon ”Ameksa den djaloek ki Gede Soele mboten awh ; pandjakara arebut pampit. Ki Gede soele ameksa mboten aweh. Kalane angreboet ing pasebane kjai Pasir noenten wonten pinisepoeh ajeneng kjai pengoeloe Dampjak asesapih ing Pangeran Lengkap. Kala gadah atoer dateng sampejan jen njarengi kalih kersa sampejan sampoen sampen rebat ing djawi menang tata, kalah tata, aloewoeng ingajenan dalem. ” Noenten sami bubar saking





     Pasebanan, mantoek dateng Astana. Sampoening sapoenika, tjarita loemampah daten Padjang adedehing waringin koerung, kondjoek dateng Kanjeng Iboe wonten abdi dalem tedak Dipati Pasir, anuwuhaken kelinggihanipoen rama ndika Sultan Padjang :, Jen kayamangkana Patih timabalana maring jaba sami, noenten sami katimbalan ki Pasir, ki Singasari, ki Bonjok, ki Katje, sareng dateng Padjang noenten kapriksa ing ajengan dalem, atoeripoen kjai Gede Pasir,, Inggih Goesti jektos jen poenika putranipoen tedak djaler, nangin boemi sampoen binagi. Wondening kang anglampahi poenika poen adi-adi tetajang agoeng sekawan kang anglampahi. Wondening poenika mboten uman waris amoeng poen Mantjalima kabekta ambaoereksa jimat dalem, sebab angrabeni anake kjai Kuntji kang adjedjeneng panembahan Sesapoe. ” Saren sapoenika naonten angandika Soeltan Padjang : ” Ikoe adja mangkana wong tengahan pakenira ijo anake ki Poerwoekentjana, ijo anak ingsoen. Amoendoet wong 100 wong tengahan, Atoere ki Gede Pasir ingih dateng sandika. 100 poen Singasantoen sumangga kondjuk ing adjengan dalem ”Noenten kaparingan dateng kjai Poerwoekentjana. Atoeripoen ki Poerwoekentjana : ” inggih sandika nanging












     djasad kula gadah oenjoek ing sampejan dalem kasuwoen pasijan dalem sampejan sabet ing lantaran dalem jen inggih satimbalan dalem sapoenika djasat kula poen anganggoer abdi dalem, nanging poen Mantjalima kenging tetep ambaoereksa jimat dalem mangka ngendika Sultan Padjang : ,, Poenapa malih jen dika ajeng anganggoer ambaoereksa jimat dalem timbalan dalem katetepaken poen Mantjalima dateng Panembahan Langkap. Panembahan Langkap tetep dados mantune kjai Kuntji. ”Sampoene sapoenika ngendika Sultan Padjang maring wong Pasir lan Singasari, Katje, Bonjok jen pangeran Langkap soemedja anganggoer amung karepe atunggoe koentji sadjijade Sultan Demak sakadang sengkere, salebak wukire prentahipoen maring pakenika, lah aja wani-wani manira ara wani sadjijade Soeltan Demak poen perdjandjiane Pangeran Makdumwali lan ki Dipati Pasir kala saweg selamipoen. Lan saler lepen Pandjen dados lemah kapoetihan, kidoel lepen pandjen dados Pasir Panewon Sultan Demak anetepaken sakramate Pangeran Makdumwali jen koelon lepen Legawa lor watu Bangkong wetan lepen Kenas kidoel lepen Pantjoer kala alam Demak pamardikane. ” Katjarita Pangeran Prabukara bebedah sawah adedepok ing kali  Kareggo apepoetra






     Panembahan Pagoet. Sampoening sapoenika sami mantoek panembahan Langkap kqabektanan prijaji gandek kakalih kang ajeneng ki Chotib Gandedja kalih kjai Bangsa anetepaken djijade Sultan Demak, sareng dateng Pasir ; Noenten dipoen larak kilen lepen Legawa mang lor watu Bangkong, mbang wetan kali Kenas, mbang kidul kali pantjoer, mangka noenten wini wetan saking Weringin gede angulon anjog lepen Legawa , dagan kedoeng Nambang ; Moedik anjog kedoeng Sawangan, moedik anjog kedoeng Bongas, moedik anjog kedung Garoegak, moedik malih anjog kedung Tembalang gegoeloene noenten manjat ngetan nuroet ngetan dedalan gede anjog watoe Bangkong , boeroet ngetan anjog djurang Bandoeng, lepen djengok, noeroet ngetan anjog rantjah Djadjawar, noeroet ngetan njabrang kali Penasalan anjog aloer reramboet kali Kenas, tinoeroet kali Kenas sapengandap anjog Sawangan kali Djengok mudik sawangan lepen karejo, mudik lepen karejo anjog rerambat kali karejo maning, wonten Sanggom Dampit tinoeroet ngoelon anjog kali Pantjoer poenika kandang sengkere djimat dalem djijade Soeltan Demak. Sampoening sapoenika sami mantoek dateng Padjang. Katjarita Panembahan Langkap peprentah dateng sentanane sami ra ora olih gawe sira pada dedoekoea sa 






      
     weg abdi kekalih kang anglampahi kang adjeneng toean Aris adedoekoeh ing Karang Semboeng tuwuhipoen Karang Tanjoeng, kang jeneng ki toean Kambangan  dedoekoeh ing karang Gude tuwuhipoen Karang Taloen. Sampoening sapoenika nami-nami katjarita Panembahan Langkap oendang-oendang embebanan astana akerigan wong matjalima Lumadjang, Karanganjar, Kober, Kertajasa, Gegerlangoe wetan, kidoel, koeloen, lor. Sareng kantoen satjengkal, noenten dateng kjai Gede Pasir angatoeri oeninga dateng Panembahan Langkap jen negara Pajang manggih sampoen bedah, naonten boebar sami mantoek. Mila balasan ing mangkin manggih taksih angoblog, silep alam Padjang (tahun 1574 M) tuwuh alam Mataram,  djumeneng ki Gede Mataram noenten andawoehaken timbalan, jen ki Patih kinen nimbali sakatahing para kuntji, boten lami noenten dateng oetoesan dalem. Kang ingoetoes kekasihipoen ki Ngabehi Djabangsa, ki Ngabehi Rajanata sareng dateng ing Astana Pasir andawuhaken timbalan dalem. ,, Koela ki Koentji, andawuhaken timbalan dalem dipoen oetoes asoedjoed dateng Astana, sampoening asoedjoed djengandika tinimbalan menjang, jen ratu djengandika ajen angempaleken sakatahing para mantri sedaja. Ratu djengandika gerah ingkang






manah. Sesampoening sapoenika noenten asudjud dateng Astana. Sesampoening asudjud noenten adandan miang dateng Mataram, anunggang kapal wastanipoen poen Djoli, rentjangipoen anak poetoe gangsal welas. Marginipoen medal jaman sewoe kang angiring jenengipoen kjai Dalem ki Djarap, ki Tadjem, ki Tokol, ki toen Aris, ki toen Kambangan, ki toen Bendungan, ki Giri Djaja, ki Goele Tana, ki Ngabdul Sukur, ki Lebuh, ki Geledeg, ki Nadar, ki Simoeh, ki toen Raga. Sareng dateng Mataram katur dateng ki Tumenggung Narapaksa pimondakaken ing Masjid Ageng, noenten sinapa dening kjai Tumenggung Mangoenaneng sarta ki Arja Panengpati, endjing noenten bineksa seba dateng Pangeran Martalaja, ingkang angaturaken kjai Tumenggung Narapaksa, noenten ngendika dateng Pangeran Langkap : ”Andika koentji Astana Pasir, noenten matur :, Inggih djasad kula, Pangeran. ”Sapa sinten kang ndika toenggoe ? matoer ki Koentji :, Inggih Pangeran, tedak saking Demak kang kekasih Pangeran Makdumwali. Sapindahipoen malih tedak ratu Padjadjaran tedak saking Banjaktjatra. Wondene kekasihipoen Pangeran Senapati Mangkoeboemi, poennika sabangsa ngelmu kalih pangeran Kalidjaga lan Pangeran Makdoem, Cirebon sarta Sultan Demak, malah toemoet anjenengaken Masjid Demak. ”Mangka angandika Pangeran Martalaja :







Inggih tedak koesoema Walijoelah jen mangkana. ”Noenten malebet Pangeran Martalaja dateng Kedaton matoer dateng ratoe, jen Koentji Astana Pasir kang sampoen dateng, mangke wonten ing djero. Noenten angandika Pangeran Sedakrapjak :, Sapa sinten kang den toenggoe matoer Martalaja :, Inggih Goesti tedak saking Demak kekasihipoen P. Makdoemwali, kaping kalih tereg ratoe Padjadjaran tedak saking Banjaktjatra kekasihipoen P.S. Mangkoeboemi sabangsa ngelmu lan pangeran Kalijaga lan Pangeran Makdoem, Cirebon sarta Soeltan Demak, malah toemoet anjenengaken Masdjid Demak. ”Noenten ngandika ki Gede Mataram : ”Jen mangkana jaloeken poedji dikire berkat dongane ki Koentji lan sawabe kang ditoenggoni lan tetepaken perdikane Astana Pasir dewek. Ora wani angowahi sadjejade Soeltan Demak dadijo kapoetihan sakadang sengkere, sira kongkonana maring djaba analoerekaken sadjijade Soeltan Demak adja kawor lan Panewon. ” Pangeran Martalaja noenten mois dateng njawi ngendika dateng Panembahan Langkap : Ki Koentji, ndika tompo timbalan dalem, dika den poendoet poedji dikire lan berkat dongane lan sawabe kang dika toenggoe ratu dika sujud sakatahing para Boepati, para Mantri sedaya, ”Matoer Panembahan Langkap : ”Inggih Goesti toemoet kula anedak




aken maring Allah lan maring Rosoelloelah mugijo kedepa prentahe soedjoed sakatahing para santri sadaja lan para Boepati sadaya, ”P. Martalaja andawuhaken pangandika dalem ki Tumenggoeng Narapaksa : ”Panenira undangaken marang wong tengahan, jen koentji astana Pasir den tetepaken perdikane, jen manira ora wani angowahi sadjijade Soeltan Demak, ”Kala alilinggihan Pangeran lan Panembahan Langkap sareng lan Toemenggoeng Mangoenaneng. Noenten dateng Pangeran Senopati ing Ngalaga ataken dateng kang paman : ” Sapa sinten punika paman ? matoer Pangeran Martalaya : ”Inggih Pangeran poenika kutji Astana Pasir tinimbalan rama jengandika. ”Sapa sinten kang toenggoe ? inggih tedak saking Demak kekasihipoen Pangeran Makdumwali. ”Sampoening sapoenika tinundoeng mantoek. Panembahan Langkap binektanan gandek kalih kang ajeneng ki Chotibroehman lan Chitibsoelah sareng dateng Pasir, noenten dipoen atoeri prijaji matjapat ki Pasir, ki Singasari, ki Bonjok, ki Katje. Sampoen pepak sadaya prijaja tengahan prijaji gandek andawuhaken timbalan dalem, jen lampah koeloe kinen analoerekaken sadjijade Soeltan Demak sarta kinen anetepaken poen mantjalima sarta sadjijade Soeltan Padjang, noenten sami oedoenan para kaoem, sami oetoesan.Wontening ki Pasir ingkang










ingoetus ki Ngabas, ki Singasari kang ingutus ki Abdoel Djapar, ki Katje kang ingoetoes ki Sorap, ki Bonjok kang ingoetoes ki Ngabdoel Djamal. Noenten sami lumampah dateng wana anderek oetoesan dalem. Winiwitan saking kidoel Waringin angoelon anjog lepen Logawa saking kidoel Waringin mangoelon anjog dateng lepen Logawa, dadagan Kedung Namba, mudik anjog Kedung Sawangan mudik malih Kedung Garoegak mudik malih anjog dateng kedoeng Gijanti, mudik malih andjog dateng kedoeng Sabela, anjog watu Bangkong, lepen apa anoeroet ngetan andjog Tjoeroeg Bandong, lepen Djengok noeroet ngetan anjog rerancah Djedjawar, angetan anjog kali Panasalan, anjabrang anoeroet ngetan anjog aloer parambat kali Kenas, anoeroet kali Kenas sapangadep anjog Sawangan kali Kareo, mudik kali Kareo anjog rerambat kali Kareo anjog Sanggom Dampit anoeroet mangoeloen anjog margi ageng anoeroet anjog kali Pantjoer ing ngandap




                                            --------------- o  --------------------

tamat
21-3-1946




































Ngendikanipun (bisikanipun) Embah Dipadikrama/Purwadikrama dumateng Bapak Yoesoep Ronomihardja utawi Embah Wahidun Ranayoeda I Demang Perdikan Pasir Koeloen bilih :
I.       Murcanipun R. Banyakcatra (Kamandaka) pinika wonten Sawangan (campuran) lepen Logawa lan lepen Mengaji nama kedung Cibleng (Cideng)
II.    Murcanipun tedak turunipun dumugi R. Banyak Kasumba menika wonten kedung Makam kedung Nalayan ingkang katelah nama Cimeleng
-         Pusaka Pasir wasiat Cis nama Nagasasra dipun simpen wonten padukuhan Kubangan, ingkang ngupakara R. Ranuwujaya, Pinetus Gunung Lurah tedak turun saking Nyi Rude (Permade) putri Demang Kertanegara.
-         Duk alamipun embah purwadipa (Maryan II) Wasiat lampit titihan kuda. Dipindah saking Masjid Pesantren ambawang gula gumantung dateng masjid Pasir ing selajengipun ingkang ngupakara trah kademangan Pasir Kulon
-         Kacarios Mesjid Pesantren ambawang gula gumantung menika kalebet masjid nomer 2 (kalih) se Nusa Jawa sesampunipun Mesjid Demak.