Sabtu, 05 Mei 2012

MAKNA TRADISI SURAN


MAKNA DAN TRADISI SURAN
Bagi orang  Jawa , momentum menghadapi tahun baru Sura ( Muharam ) ternyata dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan melakukan banyak kegiatan yang bernuansa tradisi ( diturunkan dari generasi ke generasi ), dalam upaya pendekatan spiritual kepada yang Maha Kuasa, seperti melakukan tirakatan-tirakatan atau lakon-lakon (merujuk klasifikasi Clifford Geertz bahwa di masyarakat Jawa terklasifikasi menjadi kaum santri, priyayi dan abangan).
Tirakatan dan lakon-lakon yang dilakukan,  misalnya lakon ngumbah keris (perilaku mencuci keris), lakon ngumbah pusaka (mencuci pusaka), lakon ngumbah aqik (mencuci batu permata), lakon tapa (bertapa/bersemedi), lakon kungkum (merendam di dalam air), memulai tirakat poso dalail (puasa satu tahun penuh kecuali hari raya dan hari tasyrik), lakon membuat rajah (sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan), dan masih banyak lagi lakon-lakon atau tirakatan-tirakatan yang lain.
Istilah Sura

Sura merupakan nama bulan pertama dalam kalender Jawa yang sekarang berprinsip asapon ( Alip Selasa Pon ) tidak aboge ( Alip Rebo Wage ) . Kalender Jawa tersebut (yang disebut juga kalender Saka) asal muasalnya merupakan kalender Jawa Hindu yang berdasarkan pada peredaran matahari (kalender Syamsiyah).
Namun sejak 1043 H/1633 M ketepatan tahun 1555 tahun Soko, oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma diassimilasikan berdasarkan peredaran bulan (menjadi kalender Qomariyah). Selanjutnya menjadi Kalender Jawa Islam. (Baca Alfred A Knopt, h. 282- 284). Sehingga muncul impression identifikasi dalam kalender Islam murni (kalender hijriyyah).
Istilah bulan Sura dalam kalender Jawa (bulan Muharam dalam istilah kalender Hijriyah) kalau dilacak itupun berasal dari istilah Islam.
Istilah Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharam. Di mana pada tanggal 10 Muharram tersebut terdapat banyak mitos yang terkait banyak dengan kemukjizatan para nabi- nabi.
Berharap tradisi Sura
Merujuk pada banyak mitos sura tersebut, kiranya tidaklah berlebihan manakala di awal tahun baru Hijriyyah (1429 H sekarang ini) kita jadikan momentum muhasabah dengan melakukan tirakatan-tirakatan untuk mendapatkan berkah Syuronya.
Apa yang perlu kita muhasabahi atau kita intropeksi? Jika kita merujuk pada pesan cerita kaum Saba yang selaras dengan pernyataan Alexis Carrel, kiranya muhasabah kadar keimanan kita kiranya yang perlu kita dahulukan. Sehingga dengan prinsip ”memulailah dari diri kita sendiri” kiranya perlu kita pertanyakan pada diri kita: Sudah tidak zalimkah kita kepada Allah? Sudah tidak zalimkah kita pada diri sendiri? Sudah tidak zalimkah kita pada sesama kita? Sudah tidak zalimkah kita pada lingkungan sekitar kita?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar